Rabu, 28 Juli 2010

FUJIYAMA BAB VII OLEH SUNYOTO

7. Tokyo

Morning call dari resepsionis pagi ini berdering tepat pukul 06.00. Rencana Kunjungan pertama hari itu (Rabu 27 Pebruari 2008) adalah Tokyo Institute Of Tourism.

Kesan pertama begitu masuk halaman Perguruan Tinggi ini adalah ”kemegahan”, ”keluasan” dan ”kebersihan” yang luar biasa. Kami dipandu oleh panitia penerima ke sebuah kafe milik Institut. Di situ kami disuguhi minuman kaleng (ada juga yang botol) dingin, lalu meminumnya di halaman terbuka tanpa atap, tepat di depan kafe itu.

Waktu itu matahari sudah tinggi namun sinarnya tidak terasa menyengat seperti di negara kita, mungkin karena posisi matahari tidak tepat di tengah ubun-ubun, melainkan miring, kurang dari 90 derajat.

Ada beberapa program studi di sekolah ini : Perhotelan, Tour and Travel, dan Wedding. Konsep sekolah ini adalah melayani kebutuhan pasangan muda Jepang, mulai dari pesta pernikahan, acara honey moon sekaligus paket wisatanya.

Uniknya suasana kelas masing-masing jurusan diseting seperti kondisi lingkungan pekerjaan sebenarnya. Misalnya jurusan Tour and Travel, kelas ini diseting seperti kantor travel. Lalu kelas Perhotelan, ruang kelasnya diseting seperti ruang-ruang hotel, misalnya resepsionis atau bartender. Kelas Transportation diseting seperti cabin pesawat, handling barang di bandara, atau diseting seperti bus pariwisata. Sementara kelas Wedding diseting seperti salon kecantikan lengkap dengan segala pernak perniknya. Dan, kelas Entertain, diseting seperti studio musik lengkap dengan pertunjukannya. Pembelajaran dikelas semuanya berbasis IT, lengkap dengan peralatan yang siap pakai dan modern.

SMK SBI yang sedang dirintis di Indonesia mengarah kesana, megah dan berstandar internasional. Meski harus diakui saat ini masih harus berjuang keras, sebab dari berbagai segi sekolah di Indonesia belum seperti itu.

Kami sempat menemui seorang mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di sini. Dia menempuh program Business yang memakan waktu sekitar 2 tahun. Dari penampilan nampaknya dia WNI keturunan.

Dia bersekolah disini atas biaya sendiri. Orang tuanya cukup kaya sehingga mampu membiayai sekolahnya. Dia juga sempat menceritakan keseluruhan proses dari A hingga Z sehingga dapat kuliah di sini. Serangkaian tes dia ikuti di Kedutaan Jepang di Jakarta terutama test bahasa Jepang, seni budaya, dan terakhir tes akademik. Dia lulusan sebuah SMA Negeri di Padang. Kemampuan berbahasa Jepang dia peroleh dari sebuah lembaga kursus bahasa Jepang di Indonesia.

kuliah disini ?” Saya bertanya padanya.

”Ya,

“Apakah ada kendala selama ini ?"

awalnya soal komunikasi tetapi lama-lama no problem” Jawabnya lugas.

”Bedanya apa sih kuliah disini dengan di Indonesia ?” Sambung saya lagi.

”Menurut saya jauh beda, di sini ilmu yang diberikan langsung bisa diaplikasikan dalam dunia kerja yang sesungguhnya, sehingga benar-benar harus bisa mempraktekkannya di bawah bimbingan dosen secara penuh. Harus benar-benar bisa” jelasnya bersemangat.

”Oh begitu, menarik kalau bisa diaplikasikan di Indonesia ya. Ok, terima kasih atas penjelasannya. Sayang sekali waktu saya terbatas dan harus segera melanjutkan perjalanan” pamit saya padanya setelah melirik jam tangan.

”Sama-sama, selamat jalan Pak”

”Terima kasih sampai jumpa” sahut saya sambil saling berjabat tangan hangat.

Hari itu kunjungan dilanjutkan ke Pusat perbelanjaan Odaiba, persis seperti Ginza. Menurut Grace harga-harga di sini lebih murah dibanding dengan di Ginza, namun bagi saya tetap saja masih mahal bila dibanding dengan harga-harga di Indonesia.

Lihat saja, kamera poket digital semacam milik saya, di Indonesia hanya seharga Rp 2.300.000,- tetapi di Jepang Rp 4.000.000,-. Awalnya saya berniat membeli sebuah kamera poket digital untuk oleh-oleh, namun saya urungkan karena ternyata masih lebih murah di Indonesia. Kalau cuma untuk kebanggaan saja buat apa dibeli, lagian ngapain buang devisa disini.

Pak Usman, rekan dari SMK Negeri Takengon Aceh, juga ingin membeli sebuah Notebook untuk putranya dirumah. Namun niat itu dia urungkan juga setelah dihitung-hitung dengan cermat lebih baik beli di Jakarta saja, jauh lebih murah. Ah sudahlah, menurut saya belanja di Indonesia itu termasuk enak dan murah. Memang mutu barang yang dijual di Indonesia belum tentu setara dengan buatan Jepang yanga asli. Dengan kata lain, boleh jadi barang itu tembakan (palsu / imitasi), yang penting harganya terjangkau.

Saya memiliki sebuah tips untuk yang hendak membeli barang di luar negeri : Jangan dihitung denga ukuran rupiah, kalau ingin ya beli saja, yang penting puas. Kalau dihitung dengan ukuran rupiah pasti tidak jadi beli.

Asal tahu saja, saya paling tidak enjoy melancong ke pusat perbelanjaan. Kalau di rumah, istri minta diantar belanja entah itu ke supermarket, mal atau pasar biasanya hanya saya antar sampai di depan pintu gerbang, saya sendiri lebih memilih menunggu di mobil hingga istri saya selesai belanja.

Sengaja saya biarkan istri berbelanja sendirian. Terus terang saja saya malas kalau harus mengawal belanja, bolak-balik kesana kemari, menawar banyak kali, balik lagi, pilih-pilih ke seluruh sudut toko untuk sekedar memperoleh harga termurah baru dibeli, bahkan kadang-kadang justru tidak jadi beli.

Sebenarnya saya maklum, namanya juga ibu-ibu. Rata-rata kaum wanita memiliki kebiasaan yang sama dalam urusan belanja, lama tak jadi soal yang penting bisa mendapat harga termurah, maka puaslah dia. Beda dengan kaum lelaki yang jika harus berbelanja sering tidak sabar dalam menawar atau memilih barang belanjaan. Hasilnya ? Sampai di rumah terkadang menyesal karena terlalu mahal atau kualitasnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Belanja di Asakusa Temple lain lagi ceritanya. Di sini khusus menjual souvenir khas Jepang. Harga barang yang paling murah adalah gantungan HP atau gantungan kunci, seharga 200 Yen (Rp 18.000,-). Asakusa Temple sendiri adalah sebuah tempat ibadah umat Buda, semacam Shaolin Temple di China.

Di sini ada pula stand peramal (semacam ahli nujum). Ada sumber air suci yang dipercayai bisa memberikan mukjizat, misalnya sehat bila minum air dari situ. Ada pula tempat pembakaran dupa super besar yang asapnya selalu mengepul dan berbau kemenyan. Terutama saat orang berdoa kepada para dewa agar bisa terkabul segala keinginan dan permohonnya.

Saya lebih senang berbelanja di Odaiba sebab memang ingin berburu souvenir untuk oleh-oleh rekan dan kerabat di Indonesia. Sebetulnya saya ingin minum sake yang dijual bebas di situ, tetapi saya ragu apakah sake termasuk minuman keras apa bukan. Jangan-jangan setelah minum malah mabuk. Wah, bisa repot nantinya. Setelah saya timbang-timbang, maka saya putuskan tidak jadi beli sake.

Ramai sekali orang berbelanja di sini, wisatawan dari berbagai negeri tumpah ruah berburu souvebir. Saya sempat bertemu dengan orang Indonesia dengan anaknya, masih kecil, kira-kira SD. Sayang kami tidak sempat saling berkomunikasi, kelihatannya mereka bermukim di Jepang.

Kunjungan berikutnya adalah ke Sekolah Indonesia di Migaro. Kesan pertama masuk kawasan sekolah ini adalah : ”beda banget” dengan sekolah Jepang yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolah ini.

Sekolah ini nampak sederhana dan tidak beda dengan mayoritas sekolah di Indonesia. Bahkan dibanding dengan SMK Negeri 1 Jember, masih kalah dalam hal kualitas fisik bangunan.

Sekolah ini bukanlah sekolah negeri murni sehingga bantuan dari pemerintah Indonesia jarang didapat. Jika mendapat jatah pun jumlahnya sangat kecil karena dana bantuan berstandar Rupiah bukan Yen.

Jumlah seluruh siswa TK hingga SMA hanya 76 orang. Mereka adalah anak-anak warga negara Indonesia yang berdomisili di Jepang. Mungkin para pebisnis, pedagang, pegawai pabrik atau anak pejabat keduataan Indonesia di Jepang.

Yang membanggakan adalah, sekolah ini membawa misi memperkenalkan dan mempertahankan kebudayaan Indonesia bagi anak-anak Indonesia dan bagi warga negara Jepang. Sekolah ini sering bekerja sama dengan Kedutaan Indonesia di Jepang dalam hal budaya.

Saya melihat sekolah ini berhasil menanamkan budaya disiplin, kebersamaan, kejujuran dan kebanggaan sebagai warga negara Indonesia. Kurikulum pembelajaran menggunakan kurikulum 2004 dan kelas 1 kurikulum KTSP seperti di Indonesia.

Prestasi akademis siswa untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia berada pada level menengah ke bawah. Sementara pelajaran Bahasa Asing (Inggris dan Jepang) nilainya bagus.

Prestasi non akademis banyak diperoleh dari berbagai event lomba tahunan antar sekolah Indonesia di luar negeri (sedunia) dan event lomba-lomba bersama siswa sekolah Jepang. Di Jepang tidak ada kalah dan menang dalam sebuah perlombaan, jadi semua mendapatkan penghargaan.

Guru sekolah Indonesia di Jepang, kebanyakan orang Indonesia dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera. Ada satu guru bahasa Inggris yang berasal dari Australia. Rata-rata siswa dan guru di sekolah ini bisa berkomunikasi dalam tiga bahasa sekaligus, yaitu antar teman dari Indonesia berbahasa Indonesia, dengan siswa Jepang mereka berbahasa Jepang, dan dengan teman siswa dari Eropa dan Amerika mereka berbicara dalam bahasa Inggris.

Selepas mengunjungi sekolah ini kami makan siang di sebuah restoran sederhana dengan menu khas Indonesia (sambel trasi, soto, pecel, gado-gado, rawon). Juru masaknya adalah keluarga dari Jogya yang diboyong ke Jepang oleh pemilik restoran. Dari segi rasa, masakan dan ramuan bahan-bahan tidak sama persis dengan di Indonesia. Hal itu dikarenakan beberapa bahan, bumbu dan bahan masakan lainnya sulit didapatkan di Jepang. Untuk mendatangkan dari Indonesia barangkali sulit dan mahal biayanya. Dengan makan di restoran ini sedikit terobatilah kerinduan kami akan Indonesia, khususnya dalam hal selera makan.

Selain kami, ada pengunjung lain di restoran ini. Mereka adalah 2 orang Jepang yang umurnya sudah tua. Kakek nenek itu bisa menyanyikan lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang walau hanya sepotong, rupanya mereka pernah datang ke Indonesia. Dan datang ke restoran ini sebagai pengobat rindu mereka terhadap Indonesia. Semacam nostalgia lah.

Kunjungan kami berikutnya (masih hari Kamis, 28 Pebruari 2008) adalah ke Nippon Technology College atau Nippon Engineering. Semacam Politeknik di Indonesia. Di sini mempunyai 5 program keahlian, yakni : Creator Music, Information Technologi, Technology, Medical, dan Sport. Kesan pertama sama seperti saat memasuki Institut Of Tourism (megah, luas, rapi, bersih), sebuah kampus dengan suasana yang benar-benar menarik.

Mahasiswa belajar di bengkel masing-masisng di bawah bimbingan dosen. Mahasiswa berkonsultasi secara individual atau dalam kelompok kecil dengan dosen tertentu bila menemuui kesulitan.

Saya bertemu dengan 2 orang mahasiswa Indonesia di sini, asli Jakarta. Seorang dari mereka mengambil program Technology dan yang lainnya Broadcast. Mereka berdua juga bekerja sambil menjalani kuliah yang hampir selesai. Selain untuk mengisi waktu juga untuk menambah uang saku, menyesuaikan diri dengan mahalnya biaya

“Setelah lulus nanti, you kerja di Jepang atau pulang ke Indonesia” tanya saya kepada mereka berdua.

“Terserah pemerintah Jepang, biasanya kerja dulu di sini 2 tahun baru boleh pulang” Jawab salah seorang dari mereka.

“Kalau boleh milih, you pilih mana, pulang atau kerja di Jepang?” Saya bertanya lebih lanjut.

“Kerja di sini dulu, karena gajinya jauh lebih besar” Jelasnya mantap.

Pilihan keduanya tidaklah salah, karena memang lebih mudah mendapatkan pekerjaan di Jepang. Namun, menurut saya kalau dia pulang lalu mengembangkan, menularkan pengetahuan, keahlain dan bakatnya kepada siswa di Indonesia maka hasilnya jauh lebih baik bagi bangsa Indonesia.

Kabarnya, College ini pada tahun 2007 lalu bertindak selaku tuan rumah lomba Asian Skill bidang Technology tingkat SMK. Saat itu Indonesia juga mengirimkan duta sebagai peserta.

Menurut situs Wikipedia, kondisi pendidikan di Jepang adalah sebagai berikut : tingkat melek huruf 99,8% (1990), 100,0% (2000). Pendidikan wajib : 9 tahun (dari umur 6 sampai 15 tahun). Jumlah pelajar sekolah menengah yang maju ke pendidikan tinggi kira-kira 96%. Sementara jumlah penduduk Jepang pada tahun 2006 adalah 127.655.345 dengan kepadatan 323 / km persegi.

Dari data di atas terlihat betapa tingginya tingkat kesadaran warga Jepang dalam bidang pendidikan. Ini beda jauh dibanding dengan Indonesia yang tingkat droup out sekolah masih sangat tinggi. Belum lagi yang hanya berpendidikan sampai SD atau SMP bahkan yang buta huruf. Bagi pemerintah Indonesia masalah pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah yang berat.

Dalam perjalanan pulang ke hotel kami menyaksikan dari kejauhan Tokyo Tower yang tinggi menjulang. Dari kejauhan tidak semegah tugu monas. Rancangan bangunannya seperti tower BTS milik telkom atau operator telepon seluler lainnya di Indonesia.

Kerangka Tokyo Tower itu dibuat dari besi bercat merah bata dengan tinggi 333 m, di sekitarnya dilengkapi dengan taman sebagai penghias. Lagi-lagi, Grace dengan segala pengetahuannya yang utuh tentang Jepang tak henti-hentinya menceritakan tentang ini itu di sepanjang perjalanan.

Hari ini adalah terakhir kami di Jepang. Grace menawarkan oleh-oleh coklat almond yang rasanya sangat enak, green teatip Pak sopir. Bagi yang berminat bisa memesan hari itu, barangnya diantar esok pagi. Saya memesan coklat almond beberapa bungkus dan green tea untuk tambahan oleh-oleh. asli Jepang, dan gelang batu berenergi listrik. Dia bilang harga pabrik dan keuntungannya untuk menambah uang

oooOooo

1 komentar:

  1. alva: saya sangat senang bisa dapat pengalaman dari bapak..
    tapi saya timbul beberapa pertanyaan,kira kira menurut bapak,kerja di jepang susah senangya apa ya?soalnya saya pengen banged kerja di sana.mohon pencerahanya,terima kasih banyak

    BalasHapus