Rabu, 28 Juli 2010

FUJIYAMA BAB VII OLEH SUNYOTO

7. Tokyo

Morning call dari resepsionis pagi ini berdering tepat pukul 06.00. Rencana Kunjungan pertama hari itu (Rabu 27 Pebruari 2008) adalah Tokyo Institute Of Tourism.

Kesan pertama begitu masuk halaman Perguruan Tinggi ini adalah ”kemegahan”, ”keluasan” dan ”kebersihan” yang luar biasa. Kami dipandu oleh panitia penerima ke sebuah kafe milik Institut. Di situ kami disuguhi minuman kaleng (ada juga yang botol) dingin, lalu meminumnya di halaman terbuka tanpa atap, tepat di depan kafe itu.

Waktu itu matahari sudah tinggi namun sinarnya tidak terasa menyengat seperti di negara kita, mungkin karena posisi matahari tidak tepat di tengah ubun-ubun, melainkan miring, kurang dari 90 derajat.

Ada beberapa program studi di sekolah ini : Perhotelan, Tour and Travel, dan Wedding. Konsep sekolah ini adalah melayani kebutuhan pasangan muda Jepang, mulai dari pesta pernikahan, acara honey moon sekaligus paket wisatanya.

Uniknya suasana kelas masing-masing jurusan diseting seperti kondisi lingkungan pekerjaan sebenarnya. Misalnya jurusan Tour and Travel, kelas ini diseting seperti kantor travel. Lalu kelas Perhotelan, ruang kelasnya diseting seperti ruang-ruang hotel, misalnya resepsionis atau bartender. Kelas Transportation diseting seperti cabin pesawat, handling barang di bandara, atau diseting seperti bus pariwisata. Sementara kelas Wedding diseting seperti salon kecantikan lengkap dengan segala pernak perniknya. Dan, kelas Entertain, diseting seperti studio musik lengkap dengan pertunjukannya. Pembelajaran dikelas semuanya berbasis IT, lengkap dengan peralatan yang siap pakai dan modern.

SMK SBI yang sedang dirintis di Indonesia mengarah kesana, megah dan berstandar internasional. Meski harus diakui saat ini masih harus berjuang keras, sebab dari berbagai segi sekolah di Indonesia belum seperti itu.

Kami sempat menemui seorang mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di sini. Dia menempuh program Business yang memakan waktu sekitar 2 tahun. Dari penampilan nampaknya dia WNI keturunan.

Dia bersekolah disini atas biaya sendiri. Orang tuanya cukup kaya sehingga mampu membiayai sekolahnya. Dia juga sempat menceritakan keseluruhan proses dari A hingga Z sehingga dapat kuliah di sini. Serangkaian tes dia ikuti di Kedutaan Jepang di Jakarta terutama test bahasa Jepang, seni budaya, dan terakhir tes akademik. Dia lulusan sebuah SMA Negeri di Padang. Kemampuan berbahasa Jepang dia peroleh dari sebuah lembaga kursus bahasa Jepang di Indonesia.

kuliah disini ?” Saya bertanya padanya.

”Ya,

“Apakah ada kendala selama ini ?"

awalnya soal komunikasi tetapi lama-lama no problem” Jawabnya lugas.

”Bedanya apa sih kuliah disini dengan di Indonesia ?” Sambung saya lagi.

”Menurut saya jauh beda, di sini ilmu yang diberikan langsung bisa diaplikasikan dalam dunia kerja yang sesungguhnya, sehingga benar-benar harus bisa mempraktekkannya di bawah bimbingan dosen secara penuh. Harus benar-benar bisa” jelasnya bersemangat.

”Oh begitu, menarik kalau bisa diaplikasikan di Indonesia ya. Ok, terima kasih atas penjelasannya. Sayang sekali waktu saya terbatas dan harus segera melanjutkan perjalanan” pamit saya padanya setelah melirik jam tangan.

”Sama-sama, selamat jalan Pak”

”Terima kasih sampai jumpa” sahut saya sambil saling berjabat tangan hangat.

Hari itu kunjungan dilanjutkan ke Pusat perbelanjaan Odaiba, persis seperti Ginza. Menurut Grace harga-harga di sini lebih murah dibanding dengan di Ginza, namun bagi saya tetap saja masih mahal bila dibanding dengan harga-harga di Indonesia.

Lihat saja, kamera poket digital semacam milik saya, di Indonesia hanya seharga Rp 2.300.000,- tetapi di Jepang Rp 4.000.000,-. Awalnya saya berniat membeli sebuah kamera poket digital untuk oleh-oleh, namun saya urungkan karena ternyata masih lebih murah di Indonesia. Kalau cuma untuk kebanggaan saja buat apa dibeli, lagian ngapain buang devisa disini.

Pak Usman, rekan dari SMK Negeri Takengon Aceh, juga ingin membeli sebuah Notebook untuk putranya dirumah. Namun niat itu dia urungkan juga setelah dihitung-hitung dengan cermat lebih baik beli di Jakarta saja, jauh lebih murah. Ah sudahlah, menurut saya belanja di Indonesia itu termasuk enak dan murah. Memang mutu barang yang dijual di Indonesia belum tentu setara dengan buatan Jepang yanga asli. Dengan kata lain, boleh jadi barang itu tembakan (palsu / imitasi), yang penting harganya terjangkau.

Saya memiliki sebuah tips untuk yang hendak membeli barang di luar negeri : Jangan dihitung denga ukuran rupiah, kalau ingin ya beli saja, yang penting puas. Kalau dihitung dengan ukuran rupiah pasti tidak jadi beli.

Asal tahu saja, saya paling tidak enjoy melancong ke pusat perbelanjaan. Kalau di rumah, istri minta diantar belanja entah itu ke supermarket, mal atau pasar biasanya hanya saya antar sampai di depan pintu gerbang, saya sendiri lebih memilih menunggu di mobil hingga istri saya selesai belanja.

Sengaja saya biarkan istri berbelanja sendirian. Terus terang saja saya malas kalau harus mengawal belanja, bolak-balik kesana kemari, menawar banyak kali, balik lagi, pilih-pilih ke seluruh sudut toko untuk sekedar memperoleh harga termurah baru dibeli, bahkan kadang-kadang justru tidak jadi beli.

Sebenarnya saya maklum, namanya juga ibu-ibu. Rata-rata kaum wanita memiliki kebiasaan yang sama dalam urusan belanja, lama tak jadi soal yang penting bisa mendapat harga termurah, maka puaslah dia. Beda dengan kaum lelaki yang jika harus berbelanja sering tidak sabar dalam menawar atau memilih barang belanjaan. Hasilnya ? Sampai di rumah terkadang menyesal karena terlalu mahal atau kualitasnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Belanja di Asakusa Temple lain lagi ceritanya. Di sini khusus menjual souvenir khas Jepang. Harga barang yang paling murah adalah gantungan HP atau gantungan kunci, seharga 200 Yen (Rp 18.000,-). Asakusa Temple sendiri adalah sebuah tempat ibadah umat Buda, semacam Shaolin Temple di China.

Di sini ada pula stand peramal (semacam ahli nujum). Ada sumber air suci yang dipercayai bisa memberikan mukjizat, misalnya sehat bila minum air dari situ. Ada pula tempat pembakaran dupa super besar yang asapnya selalu mengepul dan berbau kemenyan. Terutama saat orang berdoa kepada para dewa agar bisa terkabul segala keinginan dan permohonnya.

Saya lebih senang berbelanja di Odaiba sebab memang ingin berburu souvenir untuk oleh-oleh rekan dan kerabat di Indonesia. Sebetulnya saya ingin minum sake yang dijual bebas di situ, tetapi saya ragu apakah sake termasuk minuman keras apa bukan. Jangan-jangan setelah minum malah mabuk. Wah, bisa repot nantinya. Setelah saya timbang-timbang, maka saya putuskan tidak jadi beli sake.

Ramai sekali orang berbelanja di sini, wisatawan dari berbagai negeri tumpah ruah berburu souvebir. Saya sempat bertemu dengan orang Indonesia dengan anaknya, masih kecil, kira-kira SD. Sayang kami tidak sempat saling berkomunikasi, kelihatannya mereka bermukim di Jepang.

Kunjungan berikutnya adalah ke Sekolah Indonesia di Migaro. Kesan pertama masuk kawasan sekolah ini adalah : ”beda banget” dengan sekolah Jepang yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolah ini.

Sekolah ini nampak sederhana dan tidak beda dengan mayoritas sekolah di Indonesia. Bahkan dibanding dengan SMK Negeri 1 Jember, masih kalah dalam hal kualitas fisik bangunan.

Sekolah ini bukanlah sekolah negeri murni sehingga bantuan dari pemerintah Indonesia jarang didapat. Jika mendapat jatah pun jumlahnya sangat kecil karena dana bantuan berstandar Rupiah bukan Yen.

Jumlah seluruh siswa TK hingga SMA hanya 76 orang. Mereka adalah anak-anak warga negara Indonesia yang berdomisili di Jepang. Mungkin para pebisnis, pedagang, pegawai pabrik atau anak pejabat keduataan Indonesia di Jepang.

Yang membanggakan adalah, sekolah ini membawa misi memperkenalkan dan mempertahankan kebudayaan Indonesia bagi anak-anak Indonesia dan bagi warga negara Jepang. Sekolah ini sering bekerja sama dengan Kedutaan Indonesia di Jepang dalam hal budaya.

Saya melihat sekolah ini berhasil menanamkan budaya disiplin, kebersamaan, kejujuran dan kebanggaan sebagai warga negara Indonesia. Kurikulum pembelajaran menggunakan kurikulum 2004 dan kelas 1 kurikulum KTSP seperti di Indonesia.

Prestasi akademis siswa untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia berada pada level menengah ke bawah. Sementara pelajaran Bahasa Asing (Inggris dan Jepang) nilainya bagus.

Prestasi non akademis banyak diperoleh dari berbagai event lomba tahunan antar sekolah Indonesia di luar negeri (sedunia) dan event lomba-lomba bersama siswa sekolah Jepang. Di Jepang tidak ada kalah dan menang dalam sebuah perlombaan, jadi semua mendapatkan penghargaan.

Guru sekolah Indonesia di Jepang, kebanyakan orang Indonesia dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera. Ada satu guru bahasa Inggris yang berasal dari Australia. Rata-rata siswa dan guru di sekolah ini bisa berkomunikasi dalam tiga bahasa sekaligus, yaitu antar teman dari Indonesia berbahasa Indonesia, dengan siswa Jepang mereka berbahasa Jepang, dan dengan teman siswa dari Eropa dan Amerika mereka berbicara dalam bahasa Inggris.

Selepas mengunjungi sekolah ini kami makan siang di sebuah restoran sederhana dengan menu khas Indonesia (sambel trasi, soto, pecel, gado-gado, rawon). Juru masaknya adalah keluarga dari Jogya yang diboyong ke Jepang oleh pemilik restoran. Dari segi rasa, masakan dan ramuan bahan-bahan tidak sama persis dengan di Indonesia. Hal itu dikarenakan beberapa bahan, bumbu dan bahan masakan lainnya sulit didapatkan di Jepang. Untuk mendatangkan dari Indonesia barangkali sulit dan mahal biayanya. Dengan makan di restoran ini sedikit terobatilah kerinduan kami akan Indonesia, khususnya dalam hal selera makan.

Selain kami, ada pengunjung lain di restoran ini. Mereka adalah 2 orang Jepang yang umurnya sudah tua. Kakek nenek itu bisa menyanyikan lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang walau hanya sepotong, rupanya mereka pernah datang ke Indonesia. Dan datang ke restoran ini sebagai pengobat rindu mereka terhadap Indonesia. Semacam nostalgia lah.

Kunjungan kami berikutnya (masih hari Kamis, 28 Pebruari 2008) adalah ke Nippon Technology College atau Nippon Engineering. Semacam Politeknik di Indonesia. Di sini mempunyai 5 program keahlian, yakni : Creator Music, Information Technologi, Technology, Medical, dan Sport. Kesan pertama sama seperti saat memasuki Institut Of Tourism (megah, luas, rapi, bersih), sebuah kampus dengan suasana yang benar-benar menarik.

Mahasiswa belajar di bengkel masing-masisng di bawah bimbingan dosen. Mahasiswa berkonsultasi secara individual atau dalam kelompok kecil dengan dosen tertentu bila menemuui kesulitan.

Saya bertemu dengan 2 orang mahasiswa Indonesia di sini, asli Jakarta. Seorang dari mereka mengambil program Technology dan yang lainnya Broadcast. Mereka berdua juga bekerja sambil menjalani kuliah yang hampir selesai. Selain untuk mengisi waktu juga untuk menambah uang saku, menyesuaikan diri dengan mahalnya biaya

“Setelah lulus nanti, you kerja di Jepang atau pulang ke Indonesia” tanya saya kepada mereka berdua.

“Terserah pemerintah Jepang, biasanya kerja dulu di sini 2 tahun baru boleh pulang” Jawab salah seorang dari mereka.

“Kalau boleh milih, you pilih mana, pulang atau kerja di Jepang?” Saya bertanya lebih lanjut.

“Kerja di sini dulu, karena gajinya jauh lebih besar” Jelasnya mantap.

Pilihan keduanya tidaklah salah, karena memang lebih mudah mendapatkan pekerjaan di Jepang. Namun, menurut saya kalau dia pulang lalu mengembangkan, menularkan pengetahuan, keahlain dan bakatnya kepada siswa di Indonesia maka hasilnya jauh lebih baik bagi bangsa Indonesia.

Kabarnya, College ini pada tahun 2007 lalu bertindak selaku tuan rumah lomba Asian Skill bidang Technology tingkat SMK. Saat itu Indonesia juga mengirimkan duta sebagai peserta.

Menurut situs Wikipedia, kondisi pendidikan di Jepang adalah sebagai berikut : tingkat melek huruf 99,8% (1990), 100,0% (2000). Pendidikan wajib : 9 tahun (dari umur 6 sampai 15 tahun). Jumlah pelajar sekolah menengah yang maju ke pendidikan tinggi kira-kira 96%. Sementara jumlah penduduk Jepang pada tahun 2006 adalah 127.655.345 dengan kepadatan 323 / km persegi.

Dari data di atas terlihat betapa tingginya tingkat kesadaran warga Jepang dalam bidang pendidikan. Ini beda jauh dibanding dengan Indonesia yang tingkat droup out sekolah masih sangat tinggi. Belum lagi yang hanya berpendidikan sampai SD atau SMP bahkan yang buta huruf. Bagi pemerintah Indonesia masalah pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah yang berat.

Dalam perjalanan pulang ke hotel kami menyaksikan dari kejauhan Tokyo Tower yang tinggi menjulang. Dari kejauhan tidak semegah tugu monas. Rancangan bangunannya seperti tower BTS milik telkom atau operator telepon seluler lainnya di Indonesia.

Kerangka Tokyo Tower itu dibuat dari besi bercat merah bata dengan tinggi 333 m, di sekitarnya dilengkapi dengan taman sebagai penghias. Lagi-lagi, Grace dengan segala pengetahuannya yang utuh tentang Jepang tak henti-hentinya menceritakan tentang ini itu di sepanjang perjalanan.

Hari ini adalah terakhir kami di Jepang. Grace menawarkan oleh-oleh coklat almond yang rasanya sangat enak, green teatip Pak sopir. Bagi yang berminat bisa memesan hari itu, barangnya diantar esok pagi. Saya memesan coklat almond beberapa bungkus dan green tea untuk tambahan oleh-oleh. asli Jepang, dan gelang batu berenergi listrik. Dia bilang harga pabrik dan keuntungannya untuk menambah uang

oooOooo

FUJIYAMA BAB VI OLEH SUNYOTO

6. Episode Panik

Malam itu untuk makan malam saja kami harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 1 km dari hotel. Saya lupa nama restorannya, yang jelas Chinese foods. Sambil menata nafas dan merasakan pegalnya kaki, saya susah payah menaiki tangga ke lantai dua rumah makan.

“Alamak, mau makan saja cik sarane (susah sekali)” saya menggumam dalam hati.

Sesaat saya menebar pandangan ke seluruh ruangan, sekedar mencari tempat duduk, tiba-tiba, “Sini pak, Bapak duduk disini” seru Grace seraya menunjuk ke arah meja yang masih kosong.

“Terima kasih” Jawab saya sambil berjalan menuju meja yang dimaksud. Kami harus menunggu beberapa jenak hingga masakan satu persatu dihidangkan. Adatnya, di restoran Jepang tidak disarankan satu fase hidangan langsung disantap habis, bisa-bisa keburu kenyang. Padahal menu berikutnya yang tak kalah enak masih terus disajikan. Jadi harus menerapkan strategi, cicipi sedikit-sedikit dulu, kalau sudah lengkap baru diserbu habis.

Amboy ! rancak bana, selera makan langsung naik, karena sudah beberapa hari tidak ketemu masakan berselera Indonesia. Apalagi baru saja gerak jalan sejauh 1 km dari hotel tadi. Di rumah makan inilah menu makanan mirip dengan masakan Indonesia, namun sayang beberapa menu yang dihidangkan telah habis. Yang jelas kami kenyang dan puas, tidak seperti hari-hari sebelumnya, hanya kenyang tetapi kurang puas.

Selesai makan, Grace memberi kesempatan kepada kami untuk acara bebas, tak lupa dia berpesan untuk hati-hati, jangan sampai kesasar. Jalan pulang menuju hotel memang dijelaskan tetapi kami bertiga tidak terlalu perhatian. Kami menganggap remeh penjelasan itu dan lebih memilih ngobrol sendiri. Namun saya sempat merekam kalimat terakhir Grace bahwa dia tidak langsung pulang ke hotel melainkan pulang ke rumah sebentar. Sehingga kami diberi kebebasan untuk berjalan sendiri menuju hotel. Grace juga berpesan agar tetap berkelompok agar bisa saling mengingatkan dan tidak hilang.

Kami bertiga, saya, Pak Jamudin dari Jakarta, serta Pak Syaiful Amuda dari SMK Negeri 2 Gorontalo berjalan terpisah dengan rekan yang lain. Ibu-ibu pergi terlebih dulu bersama Grace. Sementara sebagian Bapak-bapak pergi bersama Gusmar. Sebenarnya kami ingin gabung dengan Gusmar, namun kami bertiga terlambat karena masih harus ke toilet. Dan seperti biasa, saya lah yang paling belakang.

”Kemana rekan-rekan yang lain ?” Saya bertanya kepada Pak Jamudin dan Amuda, berharap salah satu dari mereka memberikan jawaban.

”Kesana” Jawab Pak Amuda sambil menunjuk kearah kiri. Pak Jamudin nampak mengiyakan jawaban Pak Amuda.

”Terus sekarang, kita mau kemana ?” lanjut saya.

”Gimana kalau kita jalan ke arah sebaliknya” usul Pak Amuda.

”Pak Jamudin...oke ?” tanya saya mencoba memastikan, yang ditanya menjawab dengan anggukan ringan.

Kami bertiga sepakat mengambil jalan berlawanan arah dengan kelompok pertama. Awalnya kami bertiga cukup enjoy dan penuh percaya diri tanpa kuatir tersesat. Kebetulan jalanan juga sedang ramai lalu lalang orang pulang kerja. Tanpa terasa kami telah jauh berjalan hingga lupa arah untuk pulang ke hotel. Ini semua karena nama jalan dan berbagai informasi lainnya ditulis dalam huruf kanji.

”Awas nanti nyasar lho, tidak bisa pulang”. Saya mencoba mengingatkan dua rekan yang lain.

”Tenang Pak Nyoto, kita kan membawa ID card hotel” sahut Pak Amuda berusaha menenangkan.

Kami bertiga memiliki keyakinan bahwa lokasi hotel itu sebetulnya tidak terlalu jauh, sehingga kami tetap mencarinya dengan berjalan kaki. Kaki saya semakin pegal saja rasanya, urat-urat kaku hingga hampir kram. Sambil terus berjalan saya berusaha menahan rasa sakit sehingga tertinggal di belakang 2 rekan lain.

Dalam situasi seperti itu saya berusaha tetap tenang, sebab kalau sampai panik bisa berbahaya, bisa-bisa gak pulang beneran. Di tengah keputusasaan akhirnya kami bertanya kepada seorang petugas keamanan yang sedang melintas tidak jauh dari kami bertiga. Sebelum bertanya kami menunjukkan ID card hotel, ”Excuse me sir, where is ...” Pak Amuda bertanya sambil menunjukkan ID card itu dalam bahasa Inggris dicampur dengan bahasa Tarsan (isyarat).

Petugas itu menunjuk ke satu arah yang kemudian kami ikuti. Ya, setelah mengucapkan terima kasih kami pun menyeberang jalan sesuai petunjuk petugas tadi. Walau menuruti petunjuk petugas sebenarnya saya tidak yakin akan kebenaran petunjuk itu, feeling saya mengatakan, petunjuk itu salah. Benar saja, jalan menuju rel kereta api ternyata masih separoh perjalanan, keraguan mulai menyergap kami bertiga.

”Apa kita mau naik kereta itu saja Pak, tapi kemana tujuannya ?” Saya mencoba bertanya untuk memecah kebisuan.

Seperti tersadar, mereka berdua sontak balik kanan, saya ikuti langkah mereka berdua dari belakang, keluar lagi dari stasiun.

”Sial benar malam ini, kenapa kita tadi tidak mendengarkan petunjuk Grace” Saya menggerutu.

Kami bertiga kembali meneruskan berjalan kaki. Berbalik arah, dengan maksud kembali ke restoran tempat kami makan malam tadi, eh ternyata tidak ketemu juga. Bahkan ternyata kami kembali ke jalan yang pertama ditunjukkan petugas keamanan tadi. Aduh, mana sudah jam sepuluh malam lagi, pasti rekan-rekan di hotel sudah gelisah menunggu kami. Di tengah situasi ketidakpastian itu, saya mengambil inisiatif kembali bertanya kepada seorang petugas pemadam kebakaran (hanya perkiraan saya saja itu adalah kantor pemadam kebakaran, sebab di situ ada beberapa mobil tangki pemadam kebakaran, atau sedot WC ? saya kurang faham juga).

Excuse me sir, can you help me. Where is Crown hotel” Tanya saya sambil menunjukkan ID card hotel.

Petugas itu berusaha memahami kalimat saya, dan semakin faham tatkala saya menunjukkan ID card hotel. Tak lama kemudian dia menunjuk arah kembali ke stasiun, sebetulnya saya mulai emosional dengan jawaban itu. Namun karena saya yang paling tua diantara kami bertiga, sayapun berusaha menahan diri untuk tidak marah, emosional, apalagi panik. Dengan sangat terpaksa dan berbagai pertimbangan yang mulai tidak rasional, kami berjalan kembali, balik arah seperti petunjuk petugas pemadam kebakaran itu.

”Sebentar sebentar” kata saya mencoba menahan langkah, mereka berdua saya tinggal masuk ke sebuah kantor, nampaknya seperti sebuah bank. Kembali saya bertanya di dalam kantor itu setelah sebelumnya menunjukkan ID card hotel, Excuse me, I want go to Crown hotel, can you help me. Where are we must go?” Tanya saya kepada seorang petugas yang berpakaian necis, berjas dan berdasi.

Laki-laki muda itu menunjuk ke arah yang sama dengan petugas kebakaran tadi, tetapi kelihatannya dia juga sedikit ragu. Itu sudah cukup membuat saya makin yakin bahwa arah itu benar.

”Thank you” Jawab saya singkat sambil memberikan senyum yang jauh dari tulus.

”Sudah sudah, saya sudah tak sanggup berjalan kembali ke arah sana tadi, sebaiknya kita naik taksi saja, gimana ?” Saya menyampaikan usulan, tentu seramah mungkin walau hati ini sebenarnya merasa jengkel kepada mereka berdua.

Mereka tidak menjawab, mungkin takut ongkosnya mahal, sebab Grace pernah mengatakan ongkos taksi disini sangat mahal. Ah, kelamaan kalau harus menunggu persetujuan mereka, maka saya pun memutuskan segera memanggil sebuah taksi, ”Taksi !” Setengah berteriak saya memanggil taksi sambil melambaikan tangan.

Taksi berhenti tepat di depan kami, ternyata sopirnya sudah agak tua.

Excuse me, I want to go to Crown hotel metropolitan, can you help me ?” Sapa saya sambil menunjukkan ID card hotel.

Sopir taksi itu mengamati ID card dalam genggaman saya, manggut-manggut kemudian menjawab, “Haik !

“Are you sure ? do you know this hotel ? ” Tanya saya berusaha memastikan.

”Haik !” dia menjawab dengan isyarat ibu jarinya.

Kami bertiga segera masuk ke dalam taksi, sejenak kami tenggelam dalam diam, bermain dengan fikiran masing-masing.

”Pak, sesampai di hotel, kalau ditanya dari mana, jangan bilang kalau kita nyasar ” Pinta pak Jamudin kepada kami berdua.

”Kenapa memangnya kalau jujur” Taya saya penasaran.

”Lalu kita mau bilang apa” Pak Amuda menimpali pula.

”Malu lah pak, bilang aja kita hang out atau apa lah, gitu” sergah pak Jamudin.

Baru sekitar lima menit perjalanan, berbicara beberapa kata, eh ternyata sudah sampai di halaman hotel.

How much ?” tanya saya kepada Pak sopir.

”1000 yen” Jawabnya ramah sambil mengangkat telunjuk kirinya.

Arigatou gosaimas” Saya mencoba berterima kasih dalam bahasa Jepang sembari mengulurkan seribu yen padanya.

Arigatou gosaimas” Jawab si sopir taksi lalu bergegas pergi

Begitu kami turun dari taksi, Gusmar muncul di teras hotel. Gusmar, Tour leader kami yang tubuhnya kecil, berwajah midle-east, tetap berusaha ramah, walau sebenarnya dia pasti cemas dan kesal menunggu kedatangan kami bertiga.

”Tersesat kemana Pak ?” Tanya Gusmar.

”Maaf, sudah lama menunggu kami disini ya ?” Jawab saya diplomatis, sekenanya saja, dan justru balik bertanya supaya tidak mengecewakan Pak Jamudin.

”Lama banget Pak, saya sampai bolak balik dari kamar, ke lobi, ke halaman depan, belakang. Kami betul-betul cemas Pak” Jawabnya sedikit kesal.

”Maaf kami tadi jalan-jalan ke stasiun bawah tanah. Melihat aktifitas di sana, eh nggak terasa sudah larut ternyata” Pak Jamudin menimpali.

”Yah sudahlah yang penting kami sudah kembali dengan selamat, sekali lagi kami mohon maaf. Yuk, kami ke kamar dulu ya, saya benar-benar capek nih” kata saya sambil menepuk-nepuk bahu Gusmar.

Barangkali Gusmar iba juga melihat saya yang sudah tua, berjalan pun susah pula. Atau mungkin dia kalah wibawa, atau disengaja untuk menghargai saya. Saya justru salut kepada Gusmar, sebagai Tour Leader dia mampu menunjukkan kesabaran dan tidak mau menyakiti perasaan klien-nya. Mungkin ini aplikasi dari prinsip ”pembeli adalah raja”. Gusmar menunjukkan rasa tanggung jawab dengan berkorban naik turun, berkeliling lobi hotel untuk sekedar menunggu kami, tentu dengan perasaan tegang.

Ya, begitulah seharusnya seorang Tour leader profesional, hati boleh panas tetapi kepala haruslah tetap dingin. Kami berempat segera menuju lift, pencet tombolnya, tunggu sebentar pintu lift buka otomatis. Kami berempat masuk dan diam membisu seribu bahasa. Tak lama kemudian sampailah kami di lantai 4. Wah di pintu kamar yang kami lewati Grace juga sudah menyambut kami dengan senyum termanisnya, inilah yang justru membuat kami bertiga bertambah malu.

”Banyak pengalaman malam ini Pak, tidak nyasar kan ?” Sapanya ramah berusaha membuang semua bentuk kecemasan.

”Yah, sedikit” Jawab saya pendek saja.

”Aduh Bapak, pasti capek kan ? ya sudah segera istirahat ya Pak” kata Grace lebih lanjut. Serasa sedang berhadapan dengan orang yang paling bijaksana sedunia !

”Terima kasih, kami ke kamar dulu ya, selamat malam” Saya menyahut kalimat Grace dengan ramah, diikuti dua teman senasib sepenanggungan.

”Selamat malam Pak, selamat beristirahat” Grace tetap menebar senyum lalu menutup pintu kamarnya.

Seperti kepada Gusmar, saya salut pula pada Grace, selaku guide dia profesional. Tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran wanita. Hampir sepundak saya, kulitnya kuning langsat dan selalu rapi dalam penampilan saat bertugas.

Di dalam bus dia berdiri di tempat yang memang telah disediakan untuk bercuap-cuap seperti penyiar radio. Suaranya enak di telinga, ada saja bahan pembicaraan. Selain itu dia pintar membaca situasi. Grace sendiri bersuamikan orang Jepang, telah dikaruniai 2 orang anak, laki-laki dan perempuan.

Saya, Pak Jamudin dan pak Amuda berbeda kamar. Segera saja kami berpisah dan masuk ke kamar masing-masing. Sesampai di dalam kamar ternyata Pak Usman, teman sekamar saya, belum tidur, masih melihat TV.

”Untung bisa pulang Pak, nyasar kemana ?” Candanya setengah meledek.

”Memangnya anak kecil ? tidak bisa pulang” Saya balas bercanda padanya.

Setelah ganti pakaian saya segera merebahkan diri di tempat tidur. Tanpa diminta saya mulai bercerita dari awal setelah makan malam hingga akhirnya bisa pulang kembali ke hotel dengan selamat.

Pengalaman malam ini memberi pelajaran kepada kita semua (khususnya kami bertiga) bahwa tiap orang harus selalu berkonsentrasi penuh pada situasi apapun. Ketika senang jangan terlalu larut sehingga tidak peduli sekitar. Dan sebaliknya ketika ditimpa masalah harus tetap sabar. Berfikir jernih serta senantiasa berdoa mohon petunjuk-Nya untuk bisa keluar dari masalah.

Orang bijak mengatakan bahwa seseorang mengetahui suatu kebenaran, karena belajar dari kesalahan. Menurut saya itu tidak salah, namun akan lebih baik jika kita mempelajari suatu kebenaran dari kebenaran pula, tidak harus salah terlebih dahulu.

oooOooo

Jumat, 23 Juli 2010

FUJIYAMA BAB V OLEH SUNYOTO

5. Kamaboko

Selasa pagi, 26 Pebruari 2008, kami meneruskan kunjungan ke perusahaan ikan kering. Nama perusahaan itu Kanta Maeda Fish Factory, berlokasi di Hokkaido Propinsi Shizuoka. Perusahaan ini kecil saja, berskala home Industri, mempekerjakan kurang lebih 25 orang pegawai.

Kebersihan dalam perusahaa ini begitu terjaga, produknya dijamin higienis. Tidak ada bau amis apalagi lalat beterbangan seperti banyak terjadi di perusahaan ikan kering di Gresik, Puger (Jember) atau Kraksaan (Probolinggo).

Setelah melihat-lihat proses pengolahan ikan, kami dipersilakan menuju ruang istirahat (ruang makan) karyawan. Ruangannya tidak terlalu luas namun cukup untuk menampung sekitar 25 orang. Ruangan itu biasa dimanfaatkan untuk beristirahat dan makan-minum pada pukul 10.00 setiap harinya.

Aliran pekerjaan utama dalam perusahaan itu adalah : membersihkan kotoran di dalam perut ikan, kemudian dikeringkan dalam sebuah almari oven besar. Berikutnya adalah proses pengemasan (packaging), dan terakhir didistribusikan kepada konsumen.

Proses memasaknya dengan cara dioven di dalam sebuah ruangan berukuran cukup besar, 16 meter persegi dengan tinggi 2 meter. Persis seperti kamar dilengkapi dengan mesin pengatur suhu. Sebelum dimasukkan oven ikan-ikan itu telah di masukkan dalan kotak-kotak plastik yang nantinya akan langsung dikemas. Hebatnya lagi, seluruh proses itu dilakukan tanpa menyentuh langsung ikan matang siap saji ini.

Kemasan produk ikan kering ini nampaknya telah melalui serangkaian riset pasar yang baik. Ada kesan mewah dan bergengsi, tidak seperti kebanyakan produk ikan kering yang sering kita dapati di pasar-pasar tradisional kita. Pokoknya tidak akan malu jika harus menenteng produk ini, meski di dalam pesawat sekalipun.

Rumah (gedung) itu dilengkapi pula dengan show case, sehingga ada aktifitas penjualan langsusng (direct selling) di lokasi itu. Sebagian produknya dipasarkan untuk memenuhi pesanan konsumen, biasanya dalam jumlah kecil (eceran). Perusahaan melengkapi dirinya dengan layan antar yang dilakukan oleh bagian pemasaran dan distribusi. Mereka memiliki armada pengiriman berupa sepeda motor yang masih baru dan bersih, mayoritas berwarna putih. Bicara soal kendaraan, di Jepang memang jarang ditemui kendaraan yang kotor berdebu apalagi karatan. Ini semua didorong oleh budaya malu dan kesadaran akan pentingnya kebersihan dan kesehatan.

Saat jam istirahat tiba, kami serombongan dipersilakan naik ke lantai dua. Ruang itu adalah tempat istirahat karyawan. Kami dipersilahkan untuk mencicipi ikan oven tanpa nasi plus minuman green tea panas yang diseduh sendiri oleh pemilik (bos) perusahaan. Di ruangan itu telah disiapkan meja kursi layaknya sebuah kantin. Kami menunggu ikan kering itu dipanggang hingga siap dinikmati.

Awalnya saya berfikir ikan ini pasti terasa asin seperti jenis ikan kering di Indonesia. Eh ternyata saya salah, rasanya gurih seperti ikan bakar, lezat dan tidak keras (tidak alot).

Seperti biasa setelah makan ada yang memiliki kebiasaan merokok. Bagi yang memiliki kebiasaan ini telah disediakan sebuah kamar kecil berdinding kaca transparan berukuran 2 X 3 m, tertutup rapat, sementara di bagian atasnya dilengkapi cerobong asap.

Sekitar dua jam kami bertahan di perusahaan ikan kering ini. Cukup sudah waktu berkunjung, kami pun berpamitan guna melanjutkan kunjungan ke tujuan berikutnya.

Kesan saya terhadap perusahaan ini, walau masuk dalam kategori usaha pribadi (UKM) tetapi dikelola secara profesional dan cukup modern. Faktor higienis menjadi perhatian utama, pegawainya memiliki kedisiplinan dan etos kerja tinggi. Yah, meski kecil namun berbasis teknologi, dalam arti tidak dikerjakan secara tradisional. Kecuali proses membersihkan ikan sebelum dimasak masih dikerjakan secara manual.

Kami serombongan segera mohon pamit, namun sayang kami tidak sempat berbelanja di situ, karena dalam fikiran kami, tentu akan sulit menyimpan ikan itu. Apalagi jika harus dibawa pulang ke Indonesia.

Dengan anggukan khas Jepang yang begitu sopan, mereka, para pegawai itu, membungkuk mengucapkan salam perpisahan. Dari tempat ini, rombongan berjalan kaki sejauh 500 meter menuju ke tempat parkir bus. Di tengah perjalanan kami berpapasan dengan rombongan kecil, sepertinya anak-anak sekolah dan pemuda atau mungkin kelompok peduli lingkungan, yang sedang bakti sosial membersihkan daerah kumuh.

Mereka membersihkan sampah atau barang yang tidak terpakai lainnya (bukan sampah daun atau sisa makanan) untuk diangkut ke mobil sampah. Saya perhatikan sejenak, mereka bekerja dengan riang. Padahal Jepang adalah negara besar dengan kota-kota besarnya yang bertaraf megapolitan, sehingga para pemudanya sudah bergaya hidup modern. Namun untuk urusan peduli lingkungan nampaknya tidak ada istilah megapolitan. Mereka masih tetap menunjukkan perhatian yang besar terhadap lingkungan.

Baiklah, kita tinggalkan mereka yang sedang asyik dengan aktifitas lingkungannya. Kami segera melanjutkan perjalanan. Seperti biasa, saya paling belakang masuk bus, selain memang kondisi kaki tidak bisa diajak berjalan cepat, saya benar-benar menikmati dan mengamati keadaan sekitar. Sebab jika sudah sampai di atas bus, pemandangannya monoton dan tidak bisa diperhatikan secara detail.

Sekitar pukul 11.00 kami sampai di musium bakso Kamaboko. Inilah keunikan lain dari negeri matahari terbit, bakso saja ada musiumnya. Musium ini berlantai dua. Lantai pertama untuk praktek membuat bakso secara tradisional, dilengkapi pula dengan arena pameran bermacam-macam cetakan bakso mulai dari masa awal pembuatan hingga jaman modern.

Ada juga rangkaian gambar proses pembuatan bakso pada jaman dulu. Lalu ada oven untuk menanak bakso, panggangan untuk membakar bakso, ada tempat bermain untuk anak dan juga lobby tempat istirahat sambil menyaksikan TV yang menayang proses pengolahan bakso dari tahun ke tahun. Di situ kami dapat menyaksikan sejarah pembuatan bakso mulai dari jaman kerajaan kuno di Jepang, membuat bakso dengan peralatan tradisional atau manual sampai pembuatan bakso secara modern yang serba mesin.

Kami menemukan keunikan lainnya di musium ini. Yaitu bentuk penyajian bakso ikan salmon yang bervariasi. Ada yang berbentuk ikan, bentuk bunga, bentuk buah, bentuk kotak, bentuk bulat lonjong dan lain-lain. Tentu berbeda dengan bakso di Indonesia yang mayoritas berbentuk bulat seperti bola pingpong (bola tenis).

Bakso Jepang berbahan baku ikan salmon dan bukan daging sapi, dengan warna alami coklat muda seperti warna daging. Namun pada perkembangannya dibuat juga bakso yang berwarna hijau, kuning, merah muda, coklat dan lain-lain. Kata Grace, bakso dibuat warna-warni semacam itu untuk menarik minat anak-anak agar lebih suka mengkonsumsi ikan demi kesehatan. Untuk urusan gizi dan kesehatan, kita memang harus belajar banyak kepada Jepang.

Untuk proses pembuatan bermacam-macam model bakso itu, di musium dipamerkan pula berbagai macam cetakan bakso dari tahun ke tahun. Foto lengkapnya ada di halaman berikut.

Pada kesempatan berikutnya kami dipersilakan untuk belajar membuat bakso tradisional bersama para pengunjung lain, dengan warna alami, warna ikan salmon. Pertama kami harus memakai celemek dan penutup rambut dari kertas khusus, lalu kami harus membasuh tangan dengan air es, dingin sekali. Selanjutnya di keringkan dengan kipas angin khusus.

Berikutnya kami diarahkan ke meja kerja berbahan marmer yang sudah disterilkan, satu meja untuk 10 orang. Di depan masing-masing peserta sudah disediakan 1 set peralatan berupa : 1 buah potongan kayu ukuran 4 x 10 x 1 cm, sebuah pisau stainless, 1 bilah bambu sebesar telunjuk atau ibu jari kira-kira 10 cm, dan bahan baku utama, adonan daging salmon kurang lebih seperempat kg.

Seorang instruktur mengajari kami dengan memberi keterangan dalam bahasa Jepang yang kami tidak bisa menangkap maksudnya. Untungnya sang instruktur sambil bicara juga langsung mempraktekkan cara membuat bakso, sehingga kami pun tinggal menirukan langkah-langkah seperti yang dilakukannya.

Hasilnya ? ada yang bagus ada pula jelek. Hasil pembuatan kemudian dimasukkan ke dalam ruang atau lemari perebusan. Selanjutnya kami praktek membuat bakso bakar yang bentuknya lonjong seperti jagung bakar. Pembuatannya dengan menggunakan pisau dan bambu sebagai pegangan, setelah selesai proses pembuatan, bakso dipanggang di atas panggangan listrik.

Hasil pekerjaan itu lalu kita makan sendiri. Tidak ada kekuatiran keliru (tertukar) karena pada tiap stick telah tertulis nama kita masing-masing.

Sambil menunggu bakso masak (sedang direbus sekitar 3-4 jam) kami makan siang di rumah makan Kamaboko yang tidak jauh dari musium. Menu masakan di situ serba bakso. Paket pertama bakso pembuka, kedua, ketiga, sampai penutup bakso semua, kami kenyang dengan bakso hari itu.

Di tengah rintik hujan sepanjang trotoar menuju rumah makan itu, bunga sakura, si bunga khas Jepang, nampak mulai berbintil-bintil di ujung daunnya. Menurut keterangan, kira-kira tiga minggu atau sebulan lagi akan mulai berbunga.

Pada saat itu pasti wajah kota semakin cantik memesona. Sampai hari itu saya sudah merasakan sinar matahari yang tidak terasa terik, merasakan rintik hujan, merasakan dinginnya angin salju walau bukan hujan salju. Namun terasa ada yang kurang, bunga sakura belum mekar.

Selepas makan siang kami kembali lagi ke Kamaboko untuk mengambil hasil kerja praktek pembuatan bakso tradisional. Namun ternyata belum masak juga. Untuk mengisi waktu Grace mengajak kami ke musium elektronik Toshiba, yang lokasinya tidak jauh dari Kamaboko.

Musium ini milik perusahaan Toshiba yang awalnya hanya membuat radio, mesin cuci, serta bola lampu pada tahun 1886. Sekarang mereka telah mampu membuat sejumlah produk elektronik modern untuk berbagai keperluan manusia.

Di Jepang memang banyak sekali musium yang dibangun oleh perusahaan untuk keperluan ilmu pengetahuan dan jejak sejarah perkembangan perusahaan mulai awal usaha sampai masa gemilangnya.

Saya menjadi teringat kata-kata Bung Karno, Presiden pertama Indonesia, ”JAS MERAH” atau jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ya, seperti itulah makna kata-kata itu, persis seperti yang dilakukan oleh perusahaan Jepang.

Hampir semua perusahaan memiliki musium, demi menelusuri jejak sejarah. Sebab sejarah mempunyai tiga dimensi, yaitu untuk melihat masa lalu, masa kini dan masa depan.

Dengan musium kita dapat ditelusuri jejak sejarah. Di Indonesia beberapa sekolah yang umurnya sudah mencapai puluhan tahun, saya pikir baik juga dibuatkan musium. Selain untuk tujuan studi banding juga bisa sebagai tujuan wisata pendidikan.

Sepulang dari musium elektronik Toshiba kami kembali lagi ke Kamaboko untuk mengambil bakso buatan kami tadi pagi. Bakso yang kami buat sudah matang bahkan telah dikemas dalam kotak, seperti kotak kue ulang tahun anak-anak di Indonesia. Sengaja saya bawa pulang ke Indonesia untuk oleh-oleh atau kenang-kenangan bahwa di Jepang saya pernah mencoba membuat bakso yang berbeda dengan bakso di Indonesia.

Beberapa hari lagi kami harus pulang ke Indonesia, saya ingin menunjukkan karya ini kepada anak dan istri di rumah. Ah, jadi kangen rumah, namun saya harus bertahan hingga rampung.

Pukul 18.00 Kami meninggalkan Kamaboko lalu check in di hotel ” Crown Plaza” Metropolitan Tokyo. Hotel ini cukup mewah, hampir sama seperti hotel berbintang di Jakarta atau Surabaya.

Sebetulnya kaki sudah pegel banget (capek sekali) ingin segera istirahat, tidur, Tetapi perut keroncongan minta diisi, dan pastinya kalau tidak dituruti bisa mengganggu acara istirahat.

oooOooo

FUJIYAMA BAB IV OLEH SUNYOTO

4. Musium Batu Onik dan Danau Kawaguchi


Kunjungan berikutnya adalah ke musium batu perhiasan. Tetapi sebelumnya saya ingin memaparkan sedikit tentang kehidupan beragama dan berbudaya masyarakat Jepang. Saya mengutip (lagi) dari situs Wikipedia, di sana dituliskan sebagai berikut : Kebanyakan rakyat Jepang mengambil sikap tidak peduli terhadap agama dan melihat agama sebagai budaya dan tradisi. Bila ditanya mengenai agama, mereka akan mengatakan bahwa mereka beragama Budha hanya karena nenek-moyang mereka menganut salah satu sekte agama Budha.


Shinto, suatu agama yang berasal dari Jepang sudah hampir luput dari perhatian dan hanya diketahui oleh beberapa cendekiawan saja. Kebanyakan ajaran Budha dan Shinto hanya dipraktikkan di dalam budaya seperti upacara adat dan perkawinan. Sejumlah minoritas menganut agama Kristen, Shamanisme dan agama-agama baru seperti Soka Gakkai. Sebagian agama baru ini berkait erat dengan agama Budha.


Istri saya sempat mempertanyakan soal agama dan budaya ini, apakah di sana ada masjid atau pernah dengar adzan, dan apakah saya sholat atau tidak.

Selama disana saya tidak pernah melihat masjid dan tidak pernah pula mendengar bunyi azhan. Tetapi kalau masalah sholat, itu kan kewajiban, jadi ya tetap sholat lah, malah kadang-kadang sholat di bus ketika dalam perjalanan sehingga harus tayamum saat bersuci. Isya dan subuh biasanya saya sudah berada di hotel, sehingga saya bisa wudhu dan sholat dengan normal.

Budaya Jepang mencakup interaksi antara budaya asli Jomon yang kokoh dengan pengaruh dari luar yang menyusul. Mula-mula China dan Korea banyak membawa pengaruh, bermula dari perkembangan budaya Yayoi pada sekitar 300 tahun sebelum Masehi. Gabungan tradisi budaya Yunani dan India, mempengaruhi seni dan keagamaan Jepang sejak abad ke-6 Masehi, dilengkapi dengan pengenalan agama Budha sekte Mahayana. Sejak abad ke-16, pengaruh Eropa menjadi menonjol, disusul dengan pengaruh Amerika Serikat yang mendominasi Jepang setelah berakhirnyaPerang Dunia II.


Jepang turut mengembangkan budaya yang orisinil dan unik, dalam seni (ikebana, origami, ukiyo-e), kerajinan tangan (pahatan, tembikar, persembahan (boneka bunraku, tarian tradisional, kabuki, noh, rakugo), dan tradisi (permainan Jepang, onsen, sento, upacara minum teh, taman Jepang), serta makanan Jepang. Kini, Jepang merupakan salah satu negara pengekspor budaya pop yang terbesar. Anime, manga, mode, film, kesusasteraan, permainan video, dan musik Jepang menerima sambutan hangat di seluruh dunia, terutama di negara-negara Asia yang lain.

Ayo dong Indonesia ! jangan sampai kalah. Budaya batik, tari, musik, dan yang sekarang sedang dikembangkan adalah animasi, furnitur, kerajinan kayu perak, kulit itu adalah daya tarik Indonesia di dunia. Menurut berita di koran, karya animator Indonesia diminati oleh pengusaha animasi Jepang. Dukungan dari pemerintah Indonesia juga sangat diharapkan untuk melindunginya dari klaim negara lain terhadap produk dan budaya asli Indonesia.


Pemuda Jepang gemar menciptakan trend baru dan gaya mereka mempengaruhi mode dan trend seluruh dunia. Pasaran muda-mudi yang amat cemerlang membawa ujian kepada barang-barang pengguna elektronik yang baru, di mana gaya dan fungsinya ditentukan oleh pengguna Jepang, sebelum dipertimbangkan untuk diedarkan ke seluruh dunia.

Baru-baru ini Jepang mulai mengekspor satu lagi komoditas budaya yang bernilai: olahragawan. Popularitas pemain bisbol Jepang di Amerika Serikat meningkatkan kesadaran Barat terhadap segala hal tentang Jepang. Orang Jepang biasanya gemar memakan makanan tradisi mereka. Sebagian besar acara TV pada waktu petang dikhususkan pada penemuan dan hasil olahan makanan tradisional yang bermutu


Makanan Jepang yang mencetak nama di seluruh dunia adalah shusi. Makanan ini biasanya dibuat dari pelbagai jenis ikan mentah yang digabungkan dengan nasi dan wasabi. Sushi memiliki banyak penggemar di seluruh dunia. Makanan Jepang bertumpu pada peralihan musim, dengan menghidangkan mie dingin dan sashimi pada musim panas, sedangkan ramen panas dan shabu-shabu pada musim dingin.


Baiklah kita sekarang menuju ke musium batu berharga. Harganya benar-benar mahal untuk ukuran kantong kita. Tetapi bagi ibu-ibu, ada juga yang belanja di sana. Ada yang murah berupa batu berukuran kecil warna warni. Segenggam harganya 1.000 yen atau Rp 90.000. Hampir semua teman minta bantuan saya saat membeli batuan ini, sebab ukuran tangan saya memang besar. Jadilah saya mengambil segenggam demi segenggam untuk semua yang berniat membeli batuan unik itu.

Batu-batu warna itu akan terasa dingin di kulit bila disentuh, itu pertanda asli. Saya sendiri hanya membeli hiasan dinding berupa lukisan kecil dari batu berharga itu seharga 1.200 yen dan gelang batu untuk memperlancar peradaran darah. Mahal juga harganya. Di Indonesia barang semacam ini sudah banyak beredar dengan harga yang cukup mahal pula.


Kawasan musium ini diperindah dengan taman yang terbuat dari serba batu, diatur demikian apik, artistik dengan berbagai macam model dan warna. Batu permata besar digantungkan sebagai hiasan sekaligus sebagai alat promosi. Bagi ibu-ibu tempat ini rupanya begitu menarik karena memang di situ banyak dijual perhiasan untuk para wanita, tetapi bagi saya dan kaum Adam lainnya justru yang menarik adalah taman yang dibuat dari batu berbagai warna dan berbagai ukuran. Berbagai benda seni yang terbuat dari batu harganya sangat mahal bila di kurskan ke mata uang rupiah.


Pelancongan hari itu pun diakhiri dengan menginap di Hotel Sansuiso di tepian danau Kawaguchi, Fujikawa. Hotel ini kecil saja, berlantai tiga dan memiliki kurang lebih 50 kamar. Masih serba tradisional dan kelihatannya adalah hotel keluarga. Pegawainya rata-rata sudah berumur, itupun jumlahnya tak banyak.


Setelah check in kami berjalan kaki ke kamar masing-masing di lantai dua tanpa fasilitas eskalator, maklum masih serba tradisional. Halaman depan hotel tidak begitu luas. Sementara tepian danau Kawaguchi cukup dijangkau dengan berjalan kaki menyeberangi jalan raya saja.

Di kiri kanan hotel terdapat beberapa rumah biasa seperti layaknya perumnas di Jember. Beberapa ratus meter dari hotel ini terdapat satu hotel kecil pula, atau motel dengan ukuran sedikit lebih besar.


Yang unik disini adalah ketika makan malam kami serombongan harus memakai Yukata layaknya para Samurai dalam film-film tradisional Jepang. Yukata ini di Indonesia disebut baju Kimono dan dipakai sebagai baju tidur.

Memakai baju luar warna gelap seperti jas tetapi kancingnya bertali. Dinding kamar Hotelnya, pintunya, lantainya tempat tidur tikarnya, kasur dan selimut tebalnya tradisonal Jepang banget. Kami berdua dengan Pak Usman Kepala SMKN Takengon Aceh berada dalam satu kamar, tidurnya di lantai beralas tikar sasami, dan kasur spon tipis, bantal spon juga tipis, selimutnya tebal dan kita bisa masuk seperti kepompong di selimut itu.


Selesai makan malam, di hotel itu ada fasilitas mandi bersama, air belerang hangat. Kabarnya bagus untuk berendam guna menghilangkan lelah. Tetapi semua harus telanjang bulat tanpa busana, untuk bisa masuk dan mandi di kolam itu. Saya mencoba mengintip kolam itu masih ada beberapa orang yang sednag berendam.

Saya tidak jadi masuk bak karena kelihatannya licin, kebetulan saya sudah mandi di kamar yang disitu juga ada air hangatnya. Pak Usman teman sekamar saya juga tidak jadi mandi, malu katanya. Jadi kami hanya ngobrol sambil tiduran hingga jauh malam. Kami harusnya segera tertidur pulas karena perjalanan seharian membuat badan terasa penat, namun udara dingin membuat kami sulit tidur. Walau sudah mengenakan pakaian berlapis dan berselimut tebal seperti kepompong, pemanas ruangan sudah diatur suhunya 14-18 derajat namun tetap saja dingin dan sulit tidur. Bangun pagi masih penat dan mengantuk, badan tidak dalam kondisi fit.

Saya dan teman-teman keluar kamar melihat panorama pagi danau Kawaguchi dari pelataran hotel sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Pagi itu masih sepi, dingin pula. Panorama disini menurutku biasa saja, masih lebih asyik di telaga Sarangan, Madiun.

Pagi-pagi sudah disambut gemuruh suara debur ombak telaga diterjang speed boad yang disewa pelancong yang kebanyakan wisatawan dalam negeri. Suara ketipak sepatu kuda sewaan yang hilir mudik di jalanan depan hotel di Sarangan, suara khas para pedagang keliling menawarkan oleh-oleh jajan khas Sarangan dan berbagai makanan buah-buahan atau kerajinan dan mainan.


Memang, harus diakui untuk urusan mengelola wisata daerah di Indonesia, baru Bali saja jagonya, makanya tidak heran bila turis manca negara terkadang lebih mengenal Bali daripada Indonesia itu sendiri.

Kawaguchi adalah salah satu tujuan wisata yang dikenal disana karena berdekatan dengan gunung Fujiyama yang begitu indah pesona alamnya. Para guide sudah mengarahkan dan mengatur waktunya agar para wisatawan tidak bisa tidak harus menginap di sini. Luas danau ini sepertinya hampir sama dengan danau Sarangan. Danau Kawaguchi sendiri tidak difungsikan sebagai obyek wisata air seperti telaga Sarangan sehingga sepi-sepi saja. Tetapi bila pagi hari, matahari terbit menyembul lewat celah bukit dan sinarnya membias warna kemilau di danau itu, indah dan menarik untuk dinikmati.

Agak jauh dari pandangan, di tengah danau itu sebuah jembatan nampak menghubungkan jalan raya dari satu sisi ke sisi lainnya yang dilewati kendaraan umum. Seandainya kita berjalan kaki mengelilinginya memerlukan waktu kurang lebih 30-40 menit.

oooOooo