Jumat, 23 Juli 2010

FUJIYAMA BAB IV OLEH SUNYOTO

4. Musium Batu Onik dan Danau Kawaguchi


Kunjungan berikutnya adalah ke musium batu perhiasan. Tetapi sebelumnya saya ingin memaparkan sedikit tentang kehidupan beragama dan berbudaya masyarakat Jepang. Saya mengutip (lagi) dari situs Wikipedia, di sana dituliskan sebagai berikut : Kebanyakan rakyat Jepang mengambil sikap tidak peduli terhadap agama dan melihat agama sebagai budaya dan tradisi. Bila ditanya mengenai agama, mereka akan mengatakan bahwa mereka beragama Budha hanya karena nenek-moyang mereka menganut salah satu sekte agama Budha.


Shinto, suatu agama yang berasal dari Jepang sudah hampir luput dari perhatian dan hanya diketahui oleh beberapa cendekiawan saja. Kebanyakan ajaran Budha dan Shinto hanya dipraktikkan di dalam budaya seperti upacara adat dan perkawinan. Sejumlah minoritas menganut agama Kristen, Shamanisme dan agama-agama baru seperti Soka Gakkai. Sebagian agama baru ini berkait erat dengan agama Budha.


Istri saya sempat mempertanyakan soal agama dan budaya ini, apakah di sana ada masjid atau pernah dengar adzan, dan apakah saya sholat atau tidak.

Selama disana saya tidak pernah melihat masjid dan tidak pernah pula mendengar bunyi azhan. Tetapi kalau masalah sholat, itu kan kewajiban, jadi ya tetap sholat lah, malah kadang-kadang sholat di bus ketika dalam perjalanan sehingga harus tayamum saat bersuci. Isya dan subuh biasanya saya sudah berada di hotel, sehingga saya bisa wudhu dan sholat dengan normal.

Budaya Jepang mencakup interaksi antara budaya asli Jomon yang kokoh dengan pengaruh dari luar yang menyusul. Mula-mula China dan Korea banyak membawa pengaruh, bermula dari perkembangan budaya Yayoi pada sekitar 300 tahun sebelum Masehi. Gabungan tradisi budaya Yunani dan India, mempengaruhi seni dan keagamaan Jepang sejak abad ke-6 Masehi, dilengkapi dengan pengenalan agama Budha sekte Mahayana. Sejak abad ke-16, pengaruh Eropa menjadi menonjol, disusul dengan pengaruh Amerika Serikat yang mendominasi Jepang setelah berakhirnyaPerang Dunia II.


Jepang turut mengembangkan budaya yang orisinil dan unik, dalam seni (ikebana, origami, ukiyo-e), kerajinan tangan (pahatan, tembikar, persembahan (boneka bunraku, tarian tradisional, kabuki, noh, rakugo), dan tradisi (permainan Jepang, onsen, sento, upacara minum teh, taman Jepang), serta makanan Jepang. Kini, Jepang merupakan salah satu negara pengekspor budaya pop yang terbesar. Anime, manga, mode, film, kesusasteraan, permainan video, dan musik Jepang menerima sambutan hangat di seluruh dunia, terutama di negara-negara Asia yang lain.

Ayo dong Indonesia ! jangan sampai kalah. Budaya batik, tari, musik, dan yang sekarang sedang dikembangkan adalah animasi, furnitur, kerajinan kayu perak, kulit itu adalah daya tarik Indonesia di dunia. Menurut berita di koran, karya animator Indonesia diminati oleh pengusaha animasi Jepang. Dukungan dari pemerintah Indonesia juga sangat diharapkan untuk melindunginya dari klaim negara lain terhadap produk dan budaya asli Indonesia.


Pemuda Jepang gemar menciptakan trend baru dan gaya mereka mempengaruhi mode dan trend seluruh dunia. Pasaran muda-mudi yang amat cemerlang membawa ujian kepada barang-barang pengguna elektronik yang baru, di mana gaya dan fungsinya ditentukan oleh pengguna Jepang, sebelum dipertimbangkan untuk diedarkan ke seluruh dunia.

Baru-baru ini Jepang mulai mengekspor satu lagi komoditas budaya yang bernilai: olahragawan. Popularitas pemain bisbol Jepang di Amerika Serikat meningkatkan kesadaran Barat terhadap segala hal tentang Jepang. Orang Jepang biasanya gemar memakan makanan tradisi mereka. Sebagian besar acara TV pada waktu petang dikhususkan pada penemuan dan hasil olahan makanan tradisional yang bermutu


Makanan Jepang yang mencetak nama di seluruh dunia adalah shusi. Makanan ini biasanya dibuat dari pelbagai jenis ikan mentah yang digabungkan dengan nasi dan wasabi. Sushi memiliki banyak penggemar di seluruh dunia. Makanan Jepang bertumpu pada peralihan musim, dengan menghidangkan mie dingin dan sashimi pada musim panas, sedangkan ramen panas dan shabu-shabu pada musim dingin.


Baiklah kita sekarang menuju ke musium batu berharga. Harganya benar-benar mahal untuk ukuran kantong kita. Tetapi bagi ibu-ibu, ada juga yang belanja di sana. Ada yang murah berupa batu berukuran kecil warna warni. Segenggam harganya 1.000 yen atau Rp 90.000. Hampir semua teman minta bantuan saya saat membeli batuan ini, sebab ukuran tangan saya memang besar. Jadilah saya mengambil segenggam demi segenggam untuk semua yang berniat membeli batuan unik itu.

Batu-batu warna itu akan terasa dingin di kulit bila disentuh, itu pertanda asli. Saya sendiri hanya membeli hiasan dinding berupa lukisan kecil dari batu berharga itu seharga 1.200 yen dan gelang batu untuk memperlancar peradaran darah. Mahal juga harganya. Di Indonesia barang semacam ini sudah banyak beredar dengan harga yang cukup mahal pula.


Kawasan musium ini diperindah dengan taman yang terbuat dari serba batu, diatur demikian apik, artistik dengan berbagai macam model dan warna. Batu permata besar digantungkan sebagai hiasan sekaligus sebagai alat promosi. Bagi ibu-ibu tempat ini rupanya begitu menarik karena memang di situ banyak dijual perhiasan untuk para wanita, tetapi bagi saya dan kaum Adam lainnya justru yang menarik adalah taman yang dibuat dari batu berbagai warna dan berbagai ukuran. Berbagai benda seni yang terbuat dari batu harganya sangat mahal bila di kurskan ke mata uang rupiah.


Pelancongan hari itu pun diakhiri dengan menginap di Hotel Sansuiso di tepian danau Kawaguchi, Fujikawa. Hotel ini kecil saja, berlantai tiga dan memiliki kurang lebih 50 kamar. Masih serba tradisional dan kelihatannya adalah hotel keluarga. Pegawainya rata-rata sudah berumur, itupun jumlahnya tak banyak.


Setelah check in kami berjalan kaki ke kamar masing-masing di lantai dua tanpa fasilitas eskalator, maklum masih serba tradisional. Halaman depan hotel tidak begitu luas. Sementara tepian danau Kawaguchi cukup dijangkau dengan berjalan kaki menyeberangi jalan raya saja.

Di kiri kanan hotel terdapat beberapa rumah biasa seperti layaknya perumnas di Jember. Beberapa ratus meter dari hotel ini terdapat satu hotel kecil pula, atau motel dengan ukuran sedikit lebih besar.


Yang unik disini adalah ketika makan malam kami serombongan harus memakai Yukata layaknya para Samurai dalam film-film tradisional Jepang. Yukata ini di Indonesia disebut baju Kimono dan dipakai sebagai baju tidur.

Memakai baju luar warna gelap seperti jas tetapi kancingnya bertali. Dinding kamar Hotelnya, pintunya, lantainya tempat tidur tikarnya, kasur dan selimut tebalnya tradisonal Jepang banget. Kami berdua dengan Pak Usman Kepala SMKN Takengon Aceh berada dalam satu kamar, tidurnya di lantai beralas tikar sasami, dan kasur spon tipis, bantal spon juga tipis, selimutnya tebal dan kita bisa masuk seperti kepompong di selimut itu.


Selesai makan malam, di hotel itu ada fasilitas mandi bersama, air belerang hangat. Kabarnya bagus untuk berendam guna menghilangkan lelah. Tetapi semua harus telanjang bulat tanpa busana, untuk bisa masuk dan mandi di kolam itu. Saya mencoba mengintip kolam itu masih ada beberapa orang yang sednag berendam.

Saya tidak jadi masuk bak karena kelihatannya licin, kebetulan saya sudah mandi di kamar yang disitu juga ada air hangatnya. Pak Usman teman sekamar saya juga tidak jadi mandi, malu katanya. Jadi kami hanya ngobrol sambil tiduran hingga jauh malam. Kami harusnya segera tertidur pulas karena perjalanan seharian membuat badan terasa penat, namun udara dingin membuat kami sulit tidur. Walau sudah mengenakan pakaian berlapis dan berselimut tebal seperti kepompong, pemanas ruangan sudah diatur suhunya 14-18 derajat namun tetap saja dingin dan sulit tidur. Bangun pagi masih penat dan mengantuk, badan tidak dalam kondisi fit.

Saya dan teman-teman keluar kamar melihat panorama pagi danau Kawaguchi dari pelataran hotel sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Pagi itu masih sepi, dingin pula. Panorama disini menurutku biasa saja, masih lebih asyik di telaga Sarangan, Madiun.

Pagi-pagi sudah disambut gemuruh suara debur ombak telaga diterjang speed boad yang disewa pelancong yang kebanyakan wisatawan dalam negeri. Suara ketipak sepatu kuda sewaan yang hilir mudik di jalanan depan hotel di Sarangan, suara khas para pedagang keliling menawarkan oleh-oleh jajan khas Sarangan dan berbagai makanan buah-buahan atau kerajinan dan mainan.


Memang, harus diakui untuk urusan mengelola wisata daerah di Indonesia, baru Bali saja jagonya, makanya tidak heran bila turis manca negara terkadang lebih mengenal Bali daripada Indonesia itu sendiri.

Kawaguchi adalah salah satu tujuan wisata yang dikenal disana karena berdekatan dengan gunung Fujiyama yang begitu indah pesona alamnya. Para guide sudah mengarahkan dan mengatur waktunya agar para wisatawan tidak bisa tidak harus menginap di sini. Luas danau ini sepertinya hampir sama dengan danau Sarangan. Danau Kawaguchi sendiri tidak difungsikan sebagai obyek wisata air seperti telaga Sarangan sehingga sepi-sepi saja. Tetapi bila pagi hari, matahari terbit menyembul lewat celah bukit dan sinarnya membias warna kemilau di danau itu, indah dan menarik untuk dinikmati.

Agak jauh dari pandangan, di tengah danau itu sebuah jembatan nampak menghubungkan jalan raya dari satu sisi ke sisi lainnya yang dilewati kendaraan umum. Seandainya kita berjalan kaki mengelilinginya memerlukan waktu kurang lebih 30-40 menit.

oooOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar