Sabtu, 07 Agustus 2010

FUJIYAMA BAB VIII OLEH SUNYOTO

8. Character Building

Terus terang setelah perjalanan studi banding itu terlaksana, saya sangat bersyukur. Senang sekali mendapat banyak pengetahuan dan pengalaman baru. Dan secara tidak sadar saya tiba-tiba iri kepada Jepang yang begitu maju dalam banyak hal.

Tentu saja semua itu berguna untuk kehidupan saya secara pribadi, sekolah dan juga negara. Setelah melihat sendiri bagaimana sikap orang Jepang dalam bekerja, disiplin, kerja keras, dan bersungguh-sungguh dalam segala hal. Di balik semua itu ada perasaan bersalah dan kecewa. Ada tanda tanya besar manakala mengingat ”Perubahan apa yang bisa saya lakukan setelah perjalanan yang dibiayai negara dari uang rakyat ?”

Ya, jujur belum ada sebuah perubahan yang signifikan, paling tidak di lingkungan kerja saya. Namun saya yakin pasti bisa berubah menjadi lebih baik, seyakin Mahar, Bintang, Ikal dan anak-anak Laskar pelangi di SD Muhamadiyah Belitong, dalam novel Andrea Hirata.

Sejatinya, setelah pulang dari luar negeri, saya sudah memiliki konsep perubahan, meski itu sudah umum didengar dan dibicarakan orang, baik yang pernah kel uar negeri maupun yang belum. Bahkan mungkin hal ini sudah menjadi barang basi bagi sebagian orang. Tetapi menurut saya hal itu sangat sulit diwujudkan dan justru sudah menjadi penyakit kronis yang sulit disembuhkan.

Dia adalah “DISIPLIN DIRI DAN MAU BERUBAH”. Semua orang tidak ada yang menyangkal kalau ingin keluar dari keterpurukan, maka bangsa ini harus memulainya dari dunia pendidikan.

Gambaran sederhananya begini : Jika perubahan itu dapat dimulai dari SMK Negeri 1 Jember tempat saya bekerja, berarti ada kurang lebih seribu sekian siswa, 70 orang guru dan karyawan dan kepala sekolah. Kalau 1100 orang dari SMK Negeri 1 Jember membudayakan MAU BERUBAH, MAU DISIPLIN, JUJUR (artinya yang merasa sudah disiplin dan jujur mau lebih disiplin dan jujur lagi, dan yang belum berdisiplin serta jujur mau berubah menjadi disiplin dan jujur). Kemudian masing-masing menularkan budaya itu kepada 1 orang lain di Jember, berarti sudah ada 2200 orang yang disiplin dan jujur di Jember. Jikalau masing-masing menularkan lagi kepada 1 orang lain lagi berarti ada 4400 orang disiplin dan Jujur, dan seterusnya. Perubahan itu akan berlipat dengan cepat seperti kelipatan deret ukur.

Bagaimana saya harus mewujudkan ide itu, untuk membayar lunas hutang pada masyarakat yang sudah membiayai studi banding ke luar negeri, salah satu harapan besar saya adalah kepada para pembaca buku ini, yang mau memahami dan sepaham dengan saya, dan kemudian mau berjuang untuk itu, bersama saya.

Bila kita menengok sejarah, Jepang pernah menjajah Indonesia kurang lebih 3 tahun dengan segala kekejamannya, lalu juga intriknya membentuk tentara rakyat untuk kepentingan pemerintah Jepang. Semuanya berakhir dengan diluluh-lantakkannya kota Hirosima dan Nagasaki oleh tentara Sekutu. Bersamaan dengan itu pemberontakan (perebutan) kekuasaan dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan kita. Ini membuat Jepang semakin tak berdaya dan akhirnya Indonesia mampu merebut kembali kedaulatan negara Republik Indonesia pada 1945.

Mengapa sampai saat ini predikat Indonesia sebagai negara berkembang, negara dunia ketiga selalu kita dengar. Padahal negara lain yang merdeka belakangan dengan faktor sumber daya alam tidak sebagus Indonesia sudah mampu keluar dari predikat itu.

Sampai saat ini Indonesia tidak pernah berhenti berjuang, bahkan Indonesia pernah disebut sebagai macan Asean di saentero dunia, baik di bidang politik, ekonomi sosial dan budaya, tetapi kini mulai luntur. Memang posisi macan atau raja tentu banyak juga yang mengincar, banyak yang khawatir sehingga banyak pihak yang berupaya merontokkan giginya hingga ompong.

Nah, justru sekarang banyak gaung ketidakpuasan dalam bentuk demonstrasi kelompok mahasiswa, buruh, guru, pegawai dan guru tidak tetap, dan pedagang kaki lima. Mereka tidak menemukan saluran yang memuaskan keinginan kecuali dengan cara itu. Memang cara itulah yang saat ini sedang ngetren (populer), itulah mozaik kehidupan bernegara.

Saya menjadi teringat memori kala bersekolah di SMEA Negeri Kediri. Waktu itu Ibu dra. Umisaroh, guru PPKN, mengatakan ”Indonesia adalah negara yang kaya raya, beriklim tropis, memiliki hutan yang luas, hasil bumi melimpah, serta produk hayati laut nomer satu di dunia. Didukung letak geografis yang stretegis, di persipangan empat benua, jumlah penduduk yang besar juga flora dan fauna, semua menjadi faktor keuntungan, aset bagi Indonesia dalam pembangunan”.

Saat ini saya sudah dewasa, sudah tua. Sejauh ini saya senantiasa bertanya ada apa dengan Indonesia ? benarkah karena jumlah penduduk yang besar justru menjadi beban dan bukan menjadi aset.

China dengan jumlah penduduk yang lebih besar bisa memberdayakan penduduknya menjadi suatu kekuatan untuk membangun negara. Andai penduduk Indonesia yang besar itu (semuanya, bukan hanya rakyat biasa) memiliki mutu kehidupan yang tinggi pasti akan lain ceritanya.

Mungkin karena penduduk Indonesia mayoritas masih berkubang dalam 7 budaya negatif. Menurut Deal & Kennedy dalam Change karya karya Rhenald Kasali, Ph.D. ada 7 budaya negatif yang dapat menghalangi seseorang untuk melakukan perubahan : Budaya Ketakutan, Budaya Menyangkal, budaya Kepentingan Pribadi, Budaya Mencela, Budaya Tidak percaya, Budaya Anomi, dan Budaya mengedepankan kelompok. 7 budaya negatif ini dapat mengikis budaya-budaya positif yang telah ada.

Budaya takut dalam arti positif adalah baik, misalnya takut pada Allah, takut melanggar hukum, takut kehilangan sahabat dan sebagainya. Namun ada pula dimensi takut dari sisi negatif, misalnya takut berkata benar lalu membuat isu tidak benar, takut kehilangan kedudukan, pengaruh dan popularitas. Juga takut kenikmatannya berkurang, lalu takut pekerjaan bertambah sebagai efek dari sebuah perubahan.

Budaya Menyangkal, sebetulnya perlu juga, tetapi terkadang manusia tidak mau menerima kenyataan bahwa perubahan adalah keniscayaan. Jikalau siklus tidak menerima kenyataan itu berjangka waktu pendek, 1-2 tahun sebagai misal, masih bisa ditoleransi. Anggap saja mengendapkan pikiran. Tetapi kalau sampai puluhan tahun tidak juga mau menerima perubaha, ini namanya penghalang.

Budaya kepentingan pribadi. Mayoritas kepentingan pertama yang diurus adalah kepentingan pribadi baru kepentingan golongan. Lalu abai terhadap kepentingan masyarakat. Maka itu dalam guyonan politik, saat ini baru menginjak politik perut sendiri dan sedikit golongan.

Secara perorangan pun orang masih berpikir mementingkan urusan sendiri. Boleh dikata ngurus diri sendiri saja susah, kok mikir orang lain. Ini adalah penyakit yang harus dirubah dan disembuhkan.

Budaya tidak percaya. Ketika kita bergabung dalam suatu kelompok, komunitas, rasa saling percaya adalah perekat komunitas atau organisasi itu sendiri. Tidak ada satu komunitaspun yang menginginkan kondisi stagnant, pasti ingin selalu berubah dan berkembang secara dinamis.

Pada saat seperti itu rasa saling percaya benar-benar dibutuhkan. Satu orang saja mulai tidak percaya terhadap pemimpinnya atau terhadap teman yang lain, rusak sudah persatuan dan kesatuan dan pada gilirannya rusak pula perubahan yang diidamkan.

Budaya anomi adalah kehilangan identitas atau jati diri ketika terjadi perubahan. Mau ikut berubah merasa canggung dan tidak pas. Mau menyesuaikan diri merasa berat, lalu mau melarikan diri merasa masih punya tanggung jawab, dan mau masa bodoh justru menyakitkan. Parah benar budaya seperti ini.

Budaya mengedepankan kepentingan kelompok. Pada dasarnya hampir sama dengan budaya kepentingan pribadi karena ini memang kelanjutan dari budaya itu. Ketika berpikir kepentingan kelompok maka kepentingan lain tidak terpikirkan. Padahal mungkin kepentingan lain lebih mendesak dan lebih penting, ini mengganggu kan ? Karena itu pula Korp Pegawai Republik Indonesia memberi rambu-rambu dalam Panca Prasetia KORPRI, khususnya nomor tiga menyebutkan ”Mengutamakan kepentingan Negara dan Masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan”. Bisa nggak ya, kita berpikir jernih untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih baik ?

Menurut sejarah, hampir semua perubahan besar di dunia berhasil dijalankan oleh para pemimpin besar. Mereka memiliki sesuatu yang jarang dimiliki orang lain yaitu ”disiplin diri”. Mereka semua seakan bersepakat, sebelum memimpin orang lain harus mampu mengendalikan diri sendiri terlebih dahulu.

Berikut adalah beberapa tip untuk membangun disiplin diri :

· Mulailah dari diri sendiri, kuncinya instrospeksi.

· Jangan berorientasi kepada pesaing, berorientasilah kepada pelanggan diri anda sendiri.

· Jangan menunda pekerjaan. Lakukan sedini mungkin

· Mulailah dari hal-hal yang kecil

· Mulailah sekarang juga.

Kutipan di atas saya ambil dari buku yang berjudul CHANGE karya Rhenal Kasali. Kemudian, masih menurut Rhenald Kasali, saya cuplikkan pula sebuah ilustrasi tentang pentingnya perubahan pada perusahaan MATSUSHITA ELECTRIC JEPANG.

Adalah Konosuke Matshushita, founder Matsushita Electric, yang sejak awal (1932) mencanangkan pentingnya manajemen perubahan. Untuk Apa ? untuk Kesejahteraan. Dihadapan 1100 karyawan dia menyatakan ”Misi sebuah industri adalah membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan kesulitan hidup, menjadi sebuah kemakmuran yang sejahtera” ujarnya di Osaka.

Pada tahun 1930-an perusahaannya nyaris bangkrut karena ekonomi begitu sulit. Matsushita langsung turun ke toko-toko elektronik bersama kepala-kepala pabriknya. Ia sendiri memberikan contoh, melayani para pedagang dan penjaga toko, membungkuk lebih dalam. Dari sana mereka menjadi faham mengapa barang-barang produk Matsushita sulit dijual.

”Selalu tempatkan diri anda sebagai pelayan toko dan rasakan, apa yang mereka hadapi dengan hidup pas-pasan, sederhana, dan rendah hati” ujarnya.

Sejak itu Matshusita yakin, perubahan harus dimulai dengan figur, kerja keras dan Filosofi. Kemudian di kantor pusatnya ia memajang foto-foto Thomas Alpha Edison sebagai figur, dan patungnya pun ditempatkan di taman depan. Disana terpampang sebuah tulisan “Edison kontributor besar dunia, rela menjual koran untuk menopang penelitian-penelitiannya”

Kepada seluruh karyawan diwajibkan membaca keras-keras Falsafah (the seven principles) semacam visi, misi perusahaan, setiap hari sebelum memulai bekerja. Perusahaan ini masih eksis sampai sekarang dengan merk Panasonic, Quassar, National, Technics dan JVC. Perusahaan harus untung, tidak menoleransi terjadinya kerugian. Mencari untung adalah kewajiban untuk masyarakat.

Begitulah sedikit gambaran tentang salah satu pengusaha Jepang dalam bersikap, berpikir dan bertindak. Barangkali kita bisa ambil hikmah tentang perubahan itu sebagai suatu keharusan.

Saya bukanlah pemimpin besar seperti yang saya ceritakan di atas. Saya hanya pemimpin kecil yang memiliki kekuatan kecil pula. Maka itu perubahan yang saya idamkan adalah sebuah perubahan kecil di lingkup kecil tempat kerja saja saja.

Sebagian orang tua dan siswa mengeluh tentang banyaknya jam pelajaran kosong. Perubahan harus dimulai dan memang sudah terjadi. Ini harus diteruskan dengan penuh semangat karena budaya negatif akan makin menggerogoti, mengikis dan mengurangi perekat budaya positif. Tanda-tanda itu semakin nyata, perubahan yang saya inginkan adalah DISIPLIN DIRI bagi semua warga SMK Negeri 1 Jember.

Ah, kepala menjadi pusing rasanya kalau sampai pada masalah ini. “Ya Allah beri petunjuk dan bimbinganmu, beri kemampuan atas ridho-Mu. Berilah saya teman yang dapat sejalan mewujudkan semua rencana ini. Ajari untuk berserah diri pada-Mu” Begitu yang senantiasa saya munajatkan di setiap waktu.

Nampaknya saya harus malu pada diri sendiri jika sampai patah semangat, sebab saya selalu mengatakan ” SEMANGAT !” pada rekan sejawat dan para siswa.

oooOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar