Sabtu, 07 Agustus 2010

FUJIYAMA BAB X OLEH SUNYOTO

10. Mimpi Semalam.

Ketika sedang memperhatikan siswa sekolah Indonesia yang ada di Tokyo, saya sempat membayangkan seandainya saya sekeluarga pindah dan bertempat tinggal di Jepang.

Saya membayangkan Lina dan Riris, anak saya, bersekolah di sini dan bisa berbahasa Jepang. Mereka pasti mempunyai banyak teman orang-orang Jepang Selanjutnya mereka akan bekerja di Jepang. Ah, betapa menyenangkan.

Senang ? Ya tentu saya senang, sebab naluri saya memberontak. Tak rela melihat perbedaan yang begitu memprihatinkan sehingga saya akan merasa bangga bila menjadi salah satu orang yang berjuang di sana.

Saya mengajar di sekolah Indonesia tersebut, yang dalam ukuran saya sama-sama memprihatinkan, sama persis dengan sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya. Saya begitu trenyuh menyaksikan perbedaan fisik sekolah dan performance murid yang bagaikan bumi dan langit dibanding sekolah Jepang yang letaknya tak jauh dari sekolah Indonesia itu.

Memang saya hanya melihat dari luar, itu pun dengan cara mengambil gambar dari seberang jalan. Tetapi dapat saya saksikan bahwa sekolah ini, mulai dari SD sampai setingkat SMA, begitu megah bentuk bangunan sekolahnya, begitu tertib murid-murid mereka. Tidak ada siswa yang berkeliaran di luar gerbang, begitu bel tanda masuk berbunyi para siswa langsung hilang seperti ditelan bumi, kelihatan sepi dari luar. O ya, ada anak SMA yang sedang olah raga, bermain basket dan senam.

Kita tinggalkan sekolah Jepang dengan segala kemegahannya itu. Saya membayangkan hidup di perumahan milik sekolah atau kontrak rumah di sekitar lingkungan sekolah (ketika hendak pamit dari kunjungan ke sekolah Indonesia di Tokyo ini, kami terpaksa berjalan kaki dan sempat melintasi komplek perumahan menuju jalan raya karena bus nya menunggu di sana).

Bila diperhatikan model penataan dan bangunan-bangunan rumah disini lebih mirip komplek perumahan di Indonesia. Suasana pagi di komplek perumahan itu, kebanyakan pintunya tertutup rapat sehingga saya tidak bisa ngintip lebih jauh. Ada beberapa kendaraan sepeda motor atau mobil sedan dan mobil box berbentuk kecil. Kelihatannya sedang mengirim barang pesanan belanjaan, sayang saya pun tidak bisa melihat siapa penghuni rumah yang keluar.

Saya membayangkan tinggal di kompleks itu bersama anak dan istri tercinta. Mereka pasti canggung pada awal bertempat tinggal disini, karena tidak bisa ngrumpi ketika belanja sayur dengan tetangga di pagi hari. Dan lagi semua orang harus bekerja tidak ada yang diam menganggur di rumah saja.

***

”Eh teman-teman, kaki saya sudah pegal nih, dari tadi keliru terus jalannya” Saya mengeluh kepada teman-teman.

”Bapak, kita semua juga dari Indonesia, jadi harap maklum kalau tidak tahu jalan” jawab ibu Ita yang dari Jakarta.

”Iya deh, iya, cuma bercanda kok, sebagai pengusir capek saja” Saya menyahut setengah bercanda.

Kami harus balik dua kali jalan plus masuk di komplek perumahan itu sebelum akhirnya dapat menemukan jalan yang benar menuju restoran dengan menu masakan Indonesia tepat di depan sekolah Jepang. Restoran ini kecil, letaknya di lantai dua sebuah rumah sederhana, lebih pas bila disebut warung. Di kaca jendela depan terpampang tulisan ”RUMAH MAKAN INDONESIA. MENYEDIAKAN MASAKAN KHAS INDONESIA : MIE AYAM, NASI PECEL, SOTO AYAM, SOTO DAGING, NASI RAMES”.

Kami, berdua puluh, segera masuk ke restoran. Langsung sesak rasanya tempat itu, kami harus duduk berdesakan. Di situ sudah ada pengunjung orang Jepang asli, juga sedang memesan makanan.

Saya memesan nasi pecel, Pak Masrukin memesan nasi rames plus sambel terasi, beberapa teman lain memesan soto dan minum teh manis atau es sirup.

Sambil menunggu, saya melihat dan membaca hiasan di sini kebanyakan khas Yogjakarta. Ada batik, wayang, openg dan kotak bungkus rokok gudang garam, juga djarum dipajang disitu.

Ketika kami memesan makanan, yang mencatat adalah lelaki muda asli Jepang. Perawakannya kurus, kulit kuning langsat, mata sipit, berambut hitam keriting. Tingginya kurang lebih 170 cm, hari itu dia mengenakan kaos lengan panjang loreng hitam kombinasi putih seperti zebra. Pria itu berbahasa Jepang dengan guide kami, sementara kepada kami hanya tersenyum atau bilang ”terima kasih, sabar ya” sambil mencatat pesanan. Kesimpulan sementara kami adalah bahwa orang ini mungkin pernah pergi ke Indonesia tepatnya ke Yogjakarta.

Lumayan lama kami menunggu hidangan tersaji, mungkin tidak terbiasa menerima tamu sebanyak ini. Sementara tamu lain yang datang hampir bersamaan dengan kami tadi juga masih sabar menunggu. Anak kecil yang ada di gendongannya sedikit rewel, tidak tenang. Mungkin karena udara disitu dirasa sedikit panas sehingga tidak nyaman bagi mereka.

Ibu muda itu sedikit gelap kulitnya walaupun matanya sipit. Mungkin orang ini blesteran Indonesia-Jepang, atau mungkin ada juga orang Jepang yang berkulit sedikit gelap. Dan, wanita Jepang yang lebih tua di sebelahnya itu pastilah mamanya. Sayang mereka tidak mengerti bahasa kami.

Hidangan telah siap tersaji di atas meja. Kami membayangkan hari itu pasti akan makan dengan lahap setelah beberapa hari tidak merasakan menu masakan Indonesia. Sementara saya mengembara dalam lamunan tentang selera makan, seorang wanita muda asli Jepang menghidangkan masakan yang kami pesan.

Mie goreng, sayur sop kobis, dan ada juga yang saya tidak paham sehingga tidak bisa menebak, itu masakan apa. Wanita ini berperawakan sedang, sedikit kurus, berkulit kuning langsat seperti lelaki tadi berambut lurus hitam sedikit kemerahan. Hidungnya kecil mancung dengan tinggi badan sekitar 160 cm. Dia mengenakan baju kaos warna putih lengkap dengan celemek, mungkin ini istri si lelaki Jepang tadi atau adiknya sebab face nya mirip.

Sementara itu ada seorang pembantunya keluar membawa hidangan untuk kami. Dia seorang pemuda warga negara Indonesia. Kami sempat berdialog,

”Mas, sampeyan dari mana asalnya ?”

”Indonesia Pak, Yogjakarta” Jawabnya

”Sudah lama kerja disini ?” Saya bertanya lebih lanjut

”Sekitar setahun Pak”

”Ada berapa orang yang bekerja disini ?”

”Dua orang Pak, saya dengan seorang teman saya”

”Istri sampeyan ?”

”Bukan Pak, laki-laki, juru masak di sini”

”Ooo...begitu”

”Maaf pak saya harus melanjutkan kerja” Pamitnya santun.

”Oh ya silahkan, maaf ya banyak tanya” Seulas senyum saya sodorkan untuknya

”Nggak papa Pak, terima kasih sudah mau berkunjung” Ucapnya menutup pembicaraan.

Pelayan laki-laki itu segera menyelesaikan pekerjaanya dan kemudian lenyap ditelan pintu masuk ruang dapur. Ah kok lupa nggak nanya siapa namanya ya tadi.

Tibalah giliran saya, masakan yang saya pesan dihidangkan oleh wanita Jepang yang berpakaian sederhana tadi. Dia menaruh piring di meja sambil membungkuk

”Silahkan” Katanya dalam logat Jepang yang kental

”Terima kasih” Jawab saya

Tidak seperti yang saya bayangkan, nasi pecel dengan kecambah dan sayur daun bayam ditambah kacang panjang, lalu di siram sambal kacang yang sedikit pedas. Lengkap dengan tempe goreng dan peyek udang, amboy nikmatnya. Semua itu tidak ada, hanya lamunanku saja membayangkan pecel Indonesia. Nasi pecel yang ini jauh dari lamunan. Sepiring nasi, irisan kobis, sayur sawi atau apa namanya, kemudian disiram sambel pecel dan kerupuk udang. Tak apalah tombo kangen rumah. Kusendok nasi pecel itu, rasanya memang mirip pecel, tetapi bumbunya terasa beda, sehingga cita rasanya pun berbeda pula.

Kembali angan saya melayang, melamun seandainya saya berdomisili di Jepang peluang kerja yang cocok untuk istri adalah membuka sebuah restorant khas masakan Indonesia. Surprise tentunya, RESTORAN ”MADAM EFFI ALFIAH”. Jika makanan khas China bisa diterima di mana saja, kenapa masakan Indonesia tidak, pasti bisa lah.

Istri saya pandai memasak, dijamin rasanya enak. Terbukti setiap kali sekolah kami mengadakan rapat dan pesan makanan dari rumah yang dimasak sendiri oleh istri, mereka semua puas. Selera makan mereka menjadi bertambah.

Membayangkan istri mendirikan restoran di Jepang pasti ramai dikunjungi orang-orang Indonesia atau orang-orang tua Jepang atau keturunannya yang pernah hidup di Indonesia. Sesekali ditampilkan kesenian khas Indonesia yang dimainkan oleh anak-anak sekolah Indonesia di sini, pasti asyik sekali. Sementara sepulang sekolah, anak-anak saya akan datang ke restoran dan membantu ibunya sampai restoran tutup.

Tiba-tiba lamunan saya buyar ketika Grace menyampaikan informasi berikut ini, ”Bapak ibu, masakan disini tidak lengkap bumbunya seperti di Indonesia, misal tidak ada cabe, tidak ada kencur, tidak ada daun jeruk purut atau daun salam sehingga rasanya tidak sama persis dengan masakan asli Indonesia. Bukan mereka tidak pandai memasak tetapi karena untuk mengimpor bumbu dari Indonesia sebagian dilarang dan memang mahal biayanya”

”Oh kalau begitu, sulit juga ya. Jadi seandainya istri membuka restoran disini harus berfikir keras bagaimana caranya agar secara legal dapat mengimpor rempah bumbu dari Indonesia. Batal dong kalau begitu usaha restorannya di Jepang” Batin saya.

”Bapak ibu, setelah ini kita melanjutkan kunjungan kita ke University of Tourism dan Nippon Technology College. Maaf busnya sudah menunggu di depan, kita segera naik, waktu kita terbatas” kata Grace.

Kami patuh, segera naik ke bus setelah berpamitan dan membereskan semua biaya makan di restoran ini. Setelah semua penumpang lengkap bus segera berangkat. Dalam perjalanan saya masih terus saja berkhayal bertempat tinggal di Jepang. Saya tetap menjadi guru sementara istri membuka restoran. Lina sudah kuliah di Technology Informatics, pasti menyenangkan.

Apakah saat ini di Indonesia kami tidak bahagia ? Jangan salah, kami cukup bahagia, tetapi sesekali hidup dan bertempat tinggal di luar negeri merupakan kebanggaan tersendiri. Saya ingin Lina mahir dibidang Teknik komputer dan Designer yang handal. Jepang sangat terkenal dalam hal animasi film kartunnya.

Produk kartun Jepang membanjiri pasaran film kartun Indonesia. Setelah keluar dari Institut Teknik Nippon, Lina sudah pandai membuat film kartun dan handal mengelola manajemen pemasarannya. Filmnya pun telah diekspor ke Indonesia dan dinikmati oleh anak-anak Indonesia. Salah satu karyanya adalah Perjuangan Sonya & Keluarga.

Kartun itu sangat digemari di Indonesia karena isinya adalah perjuangan orang perantauan yang harus berhasil dalam hidup. Sebab kalau tidak dia malu kepada saudaranya di Indonesia. Oleh karena itu mereka harus berjuang keras untuk sukses. Rating kartun ini di RCTI mengalahkan kartun Sinchan yang cerdik tetapi kurang sopan itu, atau film kartun Doraemon yang ternyata di Indonesia saudaranya ada banyak, antara lain : yang sakit-sakitan dinamai Dorasehat (tidak sehat), yang tidak disiplin dan tidak bertanggung jawab dinamai Doranggenah (Tidak baik), yang pelupa dinamai Doraeling (tidak ingat).

Syukur alhamdulilah anak saya sukses sesuai keinginan, bakat dan minatnya serta sesuai pula seperti yang saya inginkan. Kelak bila pulang ke Indonesia saya tidak lagi repot membantu mencarikan kerja, karena dia sudah bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri bahkan mungkin bisa membantu orang lain.

”Pak, kok melamun terus, kangen rumah ya ?” goda pak Usman membuyarkan lamunan saya.

”Kangen memang iya, tetapi saya mengantuk dan capek sekali nih” Saya berbohong sambil menggosok-gosok mata supaya terlihat benar-benar mengantuk.

”Sebentar lagi kita sampai di Tokyo Institut Of Tourism, barang bawaan yang berat tidak usah dibawa, boleh bawa kamera, atau handycam” begitu Grace mengumumkan di dalam bus.

Selesai bicara, Grace berbincang dalam bahasa Jepang dengan sopirnya sambil melihat kiri kanan jalan mencari-cari lokasi. Kemudian dia memastikan di halaman depan bangunan itulah bus berhenti. Kami turun, sudah ada yang menjemput, para petinggi kampus itu. Ceritanya kemudian, seperti yang saya ceritakan di bab –bab sebelumnya.

Kunjungan berikutnya ke Nippon Technology Collegge. Saya membayangkan disinilah anak saya menuntut ilmu di bidang komputer. Sementara saat ini Riris, anak kedua saya, masih sekolah di SMA Indonesia di Jepang. Nantinya dia ingin melanjutkan kuliah di Tokyo Institute Of Tourism, sesuai yang dicita-citakan sejak masih SMP dulu. Dia ingin sekali melanglang buana ke tempat-tempat wisata dunia sambil memandu turis.

Belajar di Jepang harus serius, disiplin, dan juga pandai. Sebetulnya banyak yang berminat belajar ke luar negeri tetapi salah satu kendalanya adalah kemampuan berbahasa asing.

”Pak, pak, bangun pak sudah waktu subuh” pak Usman teman sekamar dari Takengon membangunkan saya.

”Pak Nyoto tidurnya pulas sekali kelihatannya, mimpi indah rupanya” Lanjutnya.

”Ah tidak, saya justru sulit tidur, masih mengantuk nih” Saya berusaha mengelak, padahal memang benar tentang mimpi itu.

”Hayo bangun sholat dulu baru tidur lagi” Dia mengingatkan dengan halus.

Dengan malas saya beranjak pergi ke kamar mandi, mengambil air wudhu dan dilanjutkan dengan sholat Subuh. Di dalam kamar mandi saya berfikir bahwa mimpi tadi malam akibat dari kegiatan siang hari yang terbawa dalam alam tidur. Subhanallah indah sekali mimpi saya, punya rumah dan restoran di Jepang !

oooOooo

BAB IX FUJIYAMA OLEH SUNYOTO

9. Resep Sukses Bangsa Jepang

Resep ini saya kutip dari sebuah blog di internet dan kelihatannya relevan sebagai cermin betapa usaha bangsa Jepang untuk maju itu memang bukan perjuangan yang ringan. Kesuksesan mereka adalah hasil dari usaha keras yang dilakukan oleh segenap elemen bangsa Jepang.

Sebetulnya di Indonesia resep ini sudah sering diperdengarkan, namun sekali lagi masalah utamanya terletak pada tataran implementasi. Ya, implementasi menuntut sebuah kesungguhan yang holistik, dan kesungguhan inilah yang belum terasa di Indonesia.

Hal ini dibuktikan ketika bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya. Segenap lapisan demikian serius mmemperjuangkan kemerdekaan sampai akhirnya berhasil. Namun disaat harus mengisi kemerdekaan justru semangat kesungguhan itu merosot drastis, sehingga hasilnya belum nampak optimal.

Berikut adalah 10 resep sukses bangsa Jepang :

· KERJA KERAS.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah bangsa pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2.450 jam/tahun, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam /tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Perancis (1.680 Jam/tahun).

Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam waktu 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama.

Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikata "memalukan" di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut "tidak dibutuhkan" oleh perusahaan.

2. MALU

Malu adalah budaya leluhur dan diwariskan secara turun temurun dalam diri bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan sebilah pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dalam pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena ”Mengundurkan diri bagi para pejabat (menteri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugas.

Efek negatifnya merambha kepada anak-anak SD, SMP yang terkadang bunuh diri, karena memperoleh nilai jelek atau tidak naik kelas. Karena malu pula orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur ditengah jalan. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

3. HIDUP HEMAT

Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Banyak orang Jepang yang memilih berbelanja di supermarket pada sekitar pukul 19.30. Selidik punya selidik, ternyata supermarket di Jepang akan memotong harga hingga separuhnya pada sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20.00.

4. LOYALITAS

Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan.

Mereka biasanya bertahan pada satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian dilatih dan dididik sendiri sesuai dengan bidang garap (core business) perusahaan.

5. INOVASI

Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang lain dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang lebih diminati oleh konsumen. Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu.

Cassete tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan mem-bundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksinya mencapai 150 juta unit produk.

Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan oleh orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah.

6. PANTANG MENYERAH

Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun di bawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam bidang teknologi. Ketika masa Restorasi Meiji (Meiji Ishin), bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner.

Miskin sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia.

Konon, jika Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita. Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan kalah perang, dan ditambah dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo. Namun ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (Shinkansen).

Cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak. Bahkan mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era kekinian.

Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk cassete tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan sony walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan).

7. BUDAYA BACA

Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat manga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi.

Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dsb). Konon legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan.

8. KERJASAMA KELOMPOK

Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang.

Ada satu anekdot yang mengatakan "satu orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya saja 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok" . Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan "ringi" adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam "ringi".

9. MANDIRI

Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Dia harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Para mahasiswa di Saitama University mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka "meminjam" uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.

10. JAGA TRADISI

Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini. Budaya minta maaf masih menjadi refleks orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki, maka jangan kaget kalau yang kita tabrak justru minta maaf terlebih dulu.

Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata "tidak" apabila mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang Jepang karena "hai" belum tentu "ya" bagi orang Jepang.

Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang. Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang merupakan salah satu yang terbaik di dunia.

Latar belakang sejarah dengan pendekatan sosial budaya mungkin bisa dijadikan faktor penting terhadap kebiasaan bangsa Jepang yang bekerja begitu keras (dengan jam kerja yang panjang). Namun tidak ada bukti sejarah yang menunjukkan bahwa orang-orang Jepang di masa sebelum era Restorasi Meiji pada tahun 1968 bekerja lebih keras dibandingkan orang-orang pada era pre-industri.

Dengan mengabaikan faktor budaya tersebut, setidaknya bisa diidentifikasi terdapat empat faktor yang mempengaruhi waktu kerja yang panjang di Jepang, yaitu lemahnya kekuatan dari serikat pekerja dan ketidakmampuannya untuk menyuarakan protes terhadap pengurangan jam kerja; strategi persaingan internal dalam sistem manajemen yang diterapkan oleh perusahaan di Jepang; tidak adanya kebijakan khusus yang dibuat pemerintah Jepang berkaitan dengan lamanya waktu bekerja; serta tekanan dunia internasional.

Tidak ada salahnya bila kita sebagai warga negara yang belum maju menjadikan pengalaman negara lain yang sudah lebih maju untuk diterapkan di negara kita sendiri. Tentu saja harus ada filter apakah pengalaman itu positif dan sesuai untuk kita atau tidak. Yang sesuai kita gunakan, sementara yang tidak sesuai kita buang jauh-jauh.

oooOooo

FUJIYAMA BAB VIII OLEH SUNYOTO

8. Character Building

Terus terang setelah perjalanan studi banding itu terlaksana, saya sangat bersyukur. Senang sekali mendapat banyak pengetahuan dan pengalaman baru. Dan secara tidak sadar saya tiba-tiba iri kepada Jepang yang begitu maju dalam banyak hal.

Tentu saja semua itu berguna untuk kehidupan saya secara pribadi, sekolah dan juga negara. Setelah melihat sendiri bagaimana sikap orang Jepang dalam bekerja, disiplin, kerja keras, dan bersungguh-sungguh dalam segala hal. Di balik semua itu ada perasaan bersalah dan kecewa. Ada tanda tanya besar manakala mengingat ”Perubahan apa yang bisa saya lakukan setelah perjalanan yang dibiayai negara dari uang rakyat ?”

Ya, jujur belum ada sebuah perubahan yang signifikan, paling tidak di lingkungan kerja saya. Namun saya yakin pasti bisa berubah menjadi lebih baik, seyakin Mahar, Bintang, Ikal dan anak-anak Laskar pelangi di SD Muhamadiyah Belitong, dalam novel Andrea Hirata.

Sejatinya, setelah pulang dari luar negeri, saya sudah memiliki konsep perubahan, meski itu sudah umum didengar dan dibicarakan orang, baik yang pernah kel uar negeri maupun yang belum. Bahkan mungkin hal ini sudah menjadi barang basi bagi sebagian orang. Tetapi menurut saya hal itu sangat sulit diwujudkan dan justru sudah menjadi penyakit kronis yang sulit disembuhkan.

Dia adalah “DISIPLIN DIRI DAN MAU BERUBAH”. Semua orang tidak ada yang menyangkal kalau ingin keluar dari keterpurukan, maka bangsa ini harus memulainya dari dunia pendidikan.

Gambaran sederhananya begini : Jika perubahan itu dapat dimulai dari SMK Negeri 1 Jember tempat saya bekerja, berarti ada kurang lebih seribu sekian siswa, 70 orang guru dan karyawan dan kepala sekolah. Kalau 1100 orang dari SMK Negeri 1 Jember membudayakan MAU BERUBAH, MAU DISIPLIN, JUJUR (artinya yang merasa sudah disiplin dan jujur mau lebih disiplin dan jujur lagi, dan yang belum berdisiplin serta jujur mau berubah menjadi disiplin dan jujur). Kemudian masing-masing menularkan budaya itu kepada 1 orang lain di Jember, berarti sudah ada 2200 orang yang disiplin dan jujur di Jember. Jikalau masing-masing menularkan lagi kepada 1 orang lain lagi berarti ada 4400 orang disiplin dan Jujur, dan seterusnya. Perubahan itu akan berlipat dengan cepat seperti kelipatan deret ukur.

Bagaimana saya harus mewujudkan ide itu, untuk membayar lunas hutang pada masyarakat yang sudah membiayai studi banding ke luar negeri, salah satu harapan besar saya adalah kepada para pembaca buku ini, yang mau memahami dan sepaham dengan saya, dan kemudian mau berjuang untuk itu, bersama saya.

Bila kita menengok sejarah, Jepang pernah menjajah Indonesia kurang lebih 3 tahun dengan segala kekejamannya, lalu juga intriknya membentuk tentara rakyat untuk kepentingan pemerintah Jepang. Semuanya berakhir dengan diluluh-lantakkannya kota Hirosima dan Nagasaki oleh tentara Sekutu. Bersamaan dengan itu pemberontakan (perebutan) kekuasaan dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan kita. Ini membuat Jepang semakin tak berdaya dan akhirnya Indonesia mampu merebut kembali kedaulatan negara Republik Indonesia pada 1945.

Mengapa sampai saat ini predikat Indonesia sebagai negara berkembang, negara dunia ketiga selalu kita dengar. Padahal negara lain yang merdeka belakangan dengan faktor sumber daya alam tidak sebagus Indonesia sudah mampu keluar dari predikat itu.

Sampai saat ini Indonesia tidak pernah berhenti berjuang, bahkan Indonesia pernah disebut sebagai macan Asean di saentero dunia, baik di bidang politik, ekonomi sosial dan budaya, tetapi kini mulai luntur. Memang posisi macan atau raja tentu banyak juga yang mengincar, banyak yang khawatir sehingga banyak pihak yang berupaya merontokkan giginya hingga ompong.

Nah, justru sekarang banyak gaung ketidakpuasan dalam bentuk demonstrasi kelompok mahasiswa, buruh, guru, pegawai dan guru tidak tetap, dan pedagang kaki lima. Mereka tidak menemukan saluran yang memuaskan keinginan kecuali dengan cara itu. Memang cara itulah yang saat ini sedang ngetren (populer), itulah mozaik kehidupan bernegara.

Saya menjadi teringat memori kala bersekolah di SMEA Negeri Kediri. Waktu itu Ibu dra. Umisaroh, guru PPKN, mengatakan ”Indonesia adalah negara yang kaya raya, beriklim tropis, memiliki hutan yang luas, hasil bumi melimpah, serta produk hayati laut nomer satu di dunia. Didukung letak geografis yang stretegis, di persipangan empat benua, jumlah penduduk yang besar juga flora dan fauna, semua menjadi faktor keuntungan, aset bagi Indonesia dalam pembangunan”.

Saat ini saya sudah dewasa, sudah tua. Sejauh ini saya senantiasa bertanya ada apa dengan Indonesia ? benarkah karena jumlah penduduk yang besar justru menjadi beban dan bukan menjadi aset.

China dengan jumlah penduduk yang lebih besar bisa memberdayakan penduduknya menjadi suatu kekuatan untuk membangun negara. Andai penduduk Indonesia yang besar itu (semuanya, bukan hanya rakyat biasa) memiliki mutu kehidupan yang tinggi pasti akan lain ceritanya.

Mungkin karena penduduk Indonesia mayoritas masih berkubang dalam 7 budaya negatif. Menurut Deal & Kennedy dalam Change karya karya Rhenald Kasali, Ph.D. ada 7 budaya negatif yang dapat menghalangi seseorang untuk melakukan perubahan : Budaya Ketakutan, Budaya Menyangkal, budaya Kepentingan Pribadi, Budaya Mencela, Budaya Tidak percaya, Budaya Anomi, dan Budaya mengedepankan kelompok. 7 budaya negatif ini dapat mengikis budaya-budaya positif yang telah ada.

Budaya takut dalam arti positif adalah baik, misalnya takut pada Allah, takut melanggar hukum, takut kehilangan sahabat dan sebagainya. Namun ada pula dimensi takut dari sisi negatif, misalnya takut berkata benar lalu membuat isu tidak benar, takut kehilangan kedudukan, pengaruh dan popularitas. Juga takut kenikmatannya berkurang, lalu takut pekerjaan bertambah sebagai efek dari sebuah perubahan.

Budaya Menyangkal, sebetulnya perlu juga, tetapi terkadang manusia tidak mau menerima kenyataan bahwa perubahan adalah keniscayaan. Jikalau siklus tidak menerima kenyataan itu berjangka waktu pendek, 1-2 tahun sebagai misal, masih bisa ditoleransi. Anggap saja mengendapkan pikiran. Tetapi kalau sampai puluhan tahun tidak juga mau menerima perubaha, ini namanya penghalang.

Budaya kepentingan pribadi. Mayoritas kepentingan pertama yang diurus adalah kepentingan pribadi baru kepentingan golongan. Lalu abai terhadap kepentingan masyarakat. Maka itu dalam guyonan politik, saat ini baru menginjak politik perut sendiri dan sedikit golongan.

Secara perorangan pun orang masih berpikir mementingkan urusan sendiri. Boleh dikata ngurus diri sendiri saja susah, kok mikir orang lain. Ini adalah penyakit yang harus dirubah dan disembuhkan.

Budaya tidak percaya. Ketika kita bergabung dalam suatu kelompok, komunitas, rasa saling percaya adalah perekat komunitas atau organisasi itu sendiri. Tidak ada satu komunitaspun yang menginginkan kondisi stagnant, pasti ingin selalu berubah dan berkembang secara dinamis.

Pada saat seperti itu rasa saling percaya benar-benar dibutuhkan. Satu orang saja mulai tidak percaya terhadap pemimpinnya atau terhadap teman yang lain, rusak sudah persatuan dan kesatuan dan pada gilirannya rusak pula perubahan yang diidamkan.

Budaya anomi adalah kehilangan identitas atau jati diri ketika terjadi perubahan. Mau ikut berubah merasa canggung dan tidak pas. Mau menyesuaikan diri merasa berat, lalu mau melarikan diri merasa masih punya tanggung jawab, dan mau masa bodoh justru menyakitkan. Parah benar budaya seperti ini.

Budaya mengedepankan kepentingan kelompok. Pada dasarnya hampir sama dengan budaya kepentingan pribadi karena ini memang kelanjutan dari budaya itu. Ketika berpikir kepentingan kelompok maka kepentingan lain tidak terpikirkan. Padahal mungkin kepentingan lain lebih mendesak dan lebih penting, ini mengganggu kan ? Karena itu pula Korp Pegawai Republik Indonesia memberi rambu-rambu dalam Panca Prasetia KORPRI, khususnya nomor tiga menyebutkan ”Mengutamakan kepentingan Negara dan Masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan”. Bisa nggak ya, kita berpikir jernih untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih baik ?

Menurut sejarah, hampir semua perubahan besar di dunia berhasil dijalankan oleh para pemimpin besar. Mereka memiliki sesuatu yang jarang dimiliki orang lain yaitu ”disiplin diri”. Mereka semua seakan bersepakat, sebelum memimpin orang lain harus mampu mengendalikan diri sendiri terlebih dahulu.

Berikut adalah beberapa tip untuk membangun disiplin diri :

· Mulailah dari diri sendiri, kuncinya instrospeksi.

· Jangan berorientasi kepada pesaing, berorientasilah kepada pelanggan diri anda sendiri.

· Jangan menunda pekerjaan. Lakukan sedini mungkin

· Mulailah dari hal-hal yang kecil

· Mulailah sekarang juga.

Kutipan di atas saya ambil dari buku yang berjudul CHANGE karya Rhenal Kasali. Kemudian, masih menurut Rhenald Kasali, saya cuplikkan pula sebuah ilustrasi tentang pentingnya perubahan pada perusahaan MATSUSHITA ELECTRIC JEPANG.

Adalah Konosuke Matshushita, founder Matsushita Electric, yang sejak awal (1932) mencanangkan pentingnya manajemen perubahan. Untuk Apa ? untuk Kesejahteraan. Dihadapan 1100 karyawan dia menyatakan ”Misi sebuah industri adalah membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan kesulitan hidup, menjadi sebuah kemakmuran yang sejahtera” ujarnya di Osaka.

Pada tahun 1930-an perusahaannya nyaris bangkrut karena ekonomi begitu sulit. Matsushita langsung turun ke toko-toko elektronik bersama kepala-kepala pabriknya. Ia sendiri memberikan contoh, melayani para pedagang dan penjaga toko, membungkuk lebih dalam. Dari sana mereka menjadi faham mengapa barang-barang produk Matsushita sulit dijual.

”Selalu tempatkan diri anda sebagai pelayan toko dan rasakan, apa yang mereka hadapi dengan hidup pas-pasan, sederhana, dan rendah hati” ujarnya.

Sejak itu Matshusita yakin, perubahan harus dimulai dengan figur, kerja keras dan Filosofi. Kemudian di kantor pusatnya ia memajang foto-foto Thomas Alpha Edison sebagai figur, dan patungnya pun ditempatkan di taman depan. Disana terpampang sebuah tulisan “Edison kontributor besar dunia, rela menjual koran untuk menopang penelitian-penelitiannya”

Kepada seluruh karyawan diwajibkan membaca keras-keras Falsafah (the seven principles) semacam visi, misi perusahaan, setiap hari sebelum memulai bekerja. Perusahaan ini masih eksis sampai sekarang dengan merk Panasonic, Quassar, National, Technics dan JVC. Perusahaan harus untung, tidak menoleransi terjadinya kerugian. Mencari untung adalah kewajiban untuk masyarakat.

Begitulah sedikit gambaran tentang salah satu pengusaha Jepang dalam bersikap, berpikir dan bertindak. Barangkali kita bisa ambil hikmah tentang perubahan itu sebagai suatu keharusan.

Saya bukanlah pemimpin besar seperti yang saya ceritakan di atas. Saya hanya pemimpin kecil yang memiliki kekuatan kecil pula. Maka itu perubahan yang saya idamkan adalah sebuah perubahan kecil di lingkup kecil tempat kerja saja saja.

Sebagian orang tua dan siswa mengeluh tentang banyaknya jam pelajaran kosong. Perubahan harus dimulai dan memang sudah terjadi. Ini harus diteruskan dengan penuh semangat karena budaya negatif akan makin menggerogoti, mengikis dan mengurangi perekat budaya positif. Tanda-tanda itu semakin nyata, perubahan yang saya inginkan adalah DISIPLIN DIRI bagi semua warga SMK Negeri 1 Jember.

Ah, kepala menjadi pusing rasanya kalau sampai pada masalah ini. “Ya Allah beri petunjuk dan bimbinganmu, beri kemampuan atas ridho-Mu. Berilah saya teman yang dapat sejalan mewujudkan semua rencana ini. Ajari untuk berserah diri pada-Mu” Begitu yang senantiasa saya munajatkan di setiap waktu.

Nampaknya saya harus malu pada diri sendiri jika sampai patah semangat, sebab saya selalu mengatakan ” SEMANGAT !” pada rekan sejawat dan para siswa.

oooOooo

Rabu, 28 Juli 2010

FUJIYAMA BAB VII OLEH SUNYOTO

7. Tokyo

Morning call dari resepsionis pagi ini berdering tepat pukul 06.00. Rencana Kunjungan pertama hari itu (Rabu 27 Pebruari 2008) adalah Tokyo Institute Of Tourism.

Kesan pertama begitu masuk halaman Perguruan Tinggi ini adalah ”kemegahan”, ”keluasan” dan ”kebersihan” yang luar biasa. Kami dipandu oleh panitia penerima ke sebuah kafe milik Institut. Di situ kami disuguhi minuman kaleng (ada juga yang botol) dingin, lalu meminumnya di halaman terbuka tanpa atap, tepat di depan kafe itu.

Waktu itu matahari sudah tinggi namun sinarnya tidak terasa menyengat seperti di negara kita, mungkin karena posisi matahari tidak tepat di tengah ubun-ubun, melainkan miring, kurang dari 90 derajat.

Ada beberapa program studi di sekolah ini : Perhotelan, Tour and Travel, dan Wedding. Konsep sekolah ini adalah melayani kebutuhan pasangan muda Jepang, mulai dari pesta pernikahan, acara honey moon sekaligus paket wisatanya.

Uniknya suasana kelas masing-masing jurusan diseting seperti kondisi lingkungan pekerjaan sebenarnya. Misalnya jurusan Tour and Travel, kelas ini diseting seperti kantor travel. Lalu kelas Perhotelan, ruang kelasnya diseting seperti ruang-ruang hotel, misalnya resepsionis atau bartender. Kelas Transportation diseting seperti cabin pesawat, handling barang di bandara, atau diseting seperti bus pariwisata. Sementara kelas Wedding diseting seperti salon kecantikan lengkap dengan segala pernak perniknya. Dan, kelas Entertain, diseting seperti studio musik lengkap dengan pertunjukannya. Pembelajaran dikelas semuanya berbasis IT, lengkap dengan peralatan yang siap pakai dan modern.

SMK SBI yang sedang dirintis di Indonesia mengarah kesana, megah dan berstandar internasional. Meski harus diakui saat ini masih harus berjuang keras, sebab dari berbagai segi sekolah di Indonesia belum seperti itu.

Kami sempat menemui seorang mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di sini. Dia menempuh program Business yang memakan waktu sekitar 2 tahun. Dari penampilan nampaknya dia WNI keturunan.

Dia bersekolah disini atas biaya sendiri. Orang tuanya cukup kaya sehingga mampu membiayai sekolahnya. Dia juga sempat menceritakan keseluruhan proses dari A hingga Z sehingga dapat kuliah di sini. Serangkaian tes dia ikuti di Kedutaan Jepang di Jakarta terutama test bahasa Jepang, seni budaya, dan terakhir tes akademik. Dia lulusan sebuah SMA Negeri di Padang. Kemampuan berbahasa Jepang dia peroleh dari sebuah lembaga kursus bahasa Jepang di Indonesia.

kuliah disini ?” Saya bertanya padanya.

”Ya,

“Apakah ada kendala selama ini ?"

awalnya soal komunikasi tetapi lama-lama no problem” Jawabnya lugas.

”Bedanya apa sih kuliah disini dengan di Indonesia ?” Sambung saya lagi.

”Menurut saya jauh beda, di sini ilmu yang diberikan langsung bisa diaplikasikan dalam dunia kerja yang sesungguhnya, sehingga benar-benar harus bisa mempraktekkannya di bawah bimbingan dosen secara penuh. Harus benar-benar bisa” jelasnya bersemangat.

”Oh begitu, menarik kalau bisa diaplikasikan di Indonesia ya. Ok, terima kasih atas penjelasannya. Sayang sekali waktu saya terbatas dan harus segera melanjutkan perjalanan” pamit saya padanya setelah melirik jam tangan.

”Sama-sama, selamat jalan Pak”

”Terima kasih sampai jumpa” sahut saya sambil saling berjabat tangan hangat.

Hari itu kunjungan dilanjutkan ke Pusat perbelanjaan Odaiba, persis seperti Ginza. Menurut Grace harga-harga di sini lebih murah dibanding dengan di Ginza, namun bagi saya tetap saja masih mahal bila dibanding dengan harga-harga di Indonesia.

Lihat saja, kamera poket digital semacam milik saya, di Indonesia hanya seharga Rp 2.300.000,- tetapi di Jepang Rp 4.000.000,-. Awalnya saya berniat membeli sebuah kamera poket digital untuk oleh-oleh, namun saya urungkan karena ternyata masih lebih murah di Indonesia. Kalau cuma untuk kebanggaan saja buat apa dibeli, lagian ngapain buang devisa disini.

Pak Usman, rekan dari SMK Negeri Takengon Aceh, juga ingin membeli sebuah Notebook untuk putranya dirumah. Namun niat itu dia urungkan juga setelah dihitung-hitung dengan cermat lebih baik beli di Jakarta saja, jauh lebih murah. Ah sudahlah, menurut saya belanja di Indonesia itu termasuk enak dan murah. Memang mutu barang yang dijual di Indonesia belum tentu setara dengan buatan Jepang yanga asli. Dengan kata lain, boleh jadi barang itu tembakan (palsu / imitasi), yang penting harganya terjangkau.

Saya memiliki sebuah tips untuk yang hendak membeli barang di luar negeri : Jangan dihitung denga ukuran rupiah, kalau ingin ya beli saja, yang penting puas. Kalau dihitung dengan ukuran rupiah pasti tidak jadi beli.

Asal tahu saja, saya paling tidak enjoy melancong ke pusat perbelanjaan. Kalau di rumah, istri minta diantar belanja entah itu ke supermarket, mal atau pasar biasanya hanya saya antar sampai di depan pintu gerbang, saya sendiri lebih memilih menunggu di mobil hingga istri saya selesai belanja.

Sengaja saya biarkan istri berbelanja sendirian. Terus terang saja saya malas kalau harus mengawal belanja, bolak-balik kesana kemari, menawar banyak kali, balik lagi, pilih-pilih ke seluruh sudut toko untuk sekedar memperoleh harga termurah baru dibeli, bahkan kadang-kadang justru tidak jadi beli.

Sebenarnya saya maklum, namanya juga ibu-ibu. Rata-rata kaum wanita memiliki kebiasaan yang sama dalam urusan belanja, lama tak jadi soal yang penting bisa mendapat harga termurah, maka puaslah dia. Beda dengan kaum lelaki yang jika harus berbelanja sering tidak sabar dalam menawar atau memilih barang belanjaan. Hasilnya ? Sampai di rumah terkadang menyesal karena terlalu mahal atau kualitasnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Belanja di Asakusa Temple lain lagi ceritanya. Di sini khusus menjual souvenir khas Jepang. Harga barang yang paling murah adalah gantungan HP atau gantungan kunci, seharga 200 Yen (Rp 18.000,-). Asakusa Temple sendiri adalah sebuah tempat ibadah umat Buda, semacam Shaolin Temple di China.

Di sini ada pula stand peramal (semacam ahli nujum). Ada sumber air suci yang dipercayai bisa memberikan mukjizat, misalnya sehat bila minum air dari situ. Ada pula tempat pembakaran dupa super besar yang asapnya selalu mengepul dan berbau kemenyan. Terutama saat orang berdoa kepada para dewa agar bisa terkabul segala keinginan dan permohonnya.

Saya lebih senang berbelanja di Odaiba sebab memang ingin berburu souvenir untuk oleh-oleh rekan dan kerabat di Indonesia. Sebetulnya saya ingin minum sake yang dijual bebas di situ, tetapi saya ragu apakah sake termasuk minuman keras apa bukan. Jangan-jangan setelah minum malah mabuk. Wah, bisa repot nantinya. Setelah saya timbang-timbang, maka saya putuskan tidak jadi beli sake.

Ramai sekali orang berbelanja di sini, wisatawan dari berbagai negeri tumpah ruah berburu souvebir. Saya sempat bertemu dengan orang Indonesia dengan anaknya, masih kecil, kira-kira SD. Sayang kami tidak sempat saling berkomunikasi, kelihatannya mereka bermukim di Jepang.

Kunjungan berikutnya adalah ke Sekolah Indonesia di Migaro. Kesan pertama masuk kawasan sekolah ini adalah : ”beda banget” dengan sekolah Jepang yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolah ini.

Sekolah ini nampak sederhana dan tidak beda dengan mayoritas sekolah di Indonesia. Bahkan dibanding dengan SMK Negeri 1 Jember, masih kalah dalam hal kualitas fisik bangunan.

Sekolah ini bukanlah sekolah negeri murni sehingga bantuan dari pemerintah Indonesia jarang didapat. Jika mendapat jatah pun jumlahnya sangat kecil karena dana bantuan berstandar Rupiah bukan Yen.

Jumlah seluruh siswa TK hingga SMA hanya 76 orang. Mereka adalah anak-anak warga negara Indonesia yang berdomisili di Jepang. Mungkin para pebisnis, pedagang, pegawai pabrik atau anak pejabat keduataan Indonesia di Jepang.

Yang membanggakan adalah, sekolah ini membawa misi memperkenalkan dan mempertahankan kebudayaan Indonesia bagi anak-anak Indonesia dan bagi warga negara Jepang. Sekolah ini sering bekerja sama dengan Kedutaan Indonesia di Jepang dalam hal budaya.

Saya melihat sekolah ini berhasil menanamkan budaya disiplin, kebersamaan, kejujuran dan kebanggaan sebagai warga negara Indonesia. Kurikulum pembelajaran menggunakan kurikulum 2004 dan kelas 1 kurikulum KTSP seperti di Indonesia.

Prestasi akademis siswa untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia berada pada level menengah ke bawah. Sementara pelajaran Bahasa Asing (Inggris dan Jepang) nilainya bagus.

Prestasi non akademis banyak diperoleh dari berbagai event lomba tahunan antar sekolah Indonesia di luar negeri (sedunia) dan event lomba-lomba bersama siswa sekolah Jepang. Di Jepang tidak ada kalah dan menang dalam sebuah perlombaan, jadi semua mendapatkan penghargaan.

Guru sekolah Indonesia di Jepang, kebanyakan orang Indonesia dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera. Ada satu guru bahasa Inggris yang berasal dari Australia. Rata-rata siswa dan guru di sekolah ini bisa berkomunikasi dalam tiga bahasa sekaligus, yaitu antar teman dari Indonesia berbahasa Indonesia, dengan siswa Jepang mereka berbahasa Jepang, dan dengan teman siswa dari Eropa dan Amerika mereka berbicara dalam bahasa Inggris.

Selepas mengunjungi sekolah ini kami makan siang di sebuah restoran sederhana dengan menu khas Indonesia (sambel trasi, soto, pecel, gado-gado, rawon). Juru masaknya adalah keluarga dari Jogya yang diboyong ke Jepang oleh pemilik restoran. Dari segi rasa, masakan dan ramuan bahan-bahan tidak sama persis dengan di Indonesia. Hal itu dikarenakan beberapa bahan, bumbu dan bahan masakan lainnya sulit didapatkan di Jepang. Untuk mendatangkan dari Indonesia barangkali sulit dan mahal biayanya. Dengan makan di restoran ini sedikit terobatilah kerinduan kami akan Indonesia, khususnya dalam hal selera makan.

Selain kami, ada pengunjung lain di restoran ini. Mereka adalah 2 orang Jepang yang umurnya sudah tua. Kakek nenek itu bisa menyanyikan lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang walau hanya sepotong, rupanya mereka pernah datang ke Indonesia. Dan datang ke restoran ini sebagai pengobat rindu mereka terhadap Indonesia. Semacam nostalgia lah.

Kunjungan kami berikutnya (masih hari Kamis, 28 Pebruari 2008) adalah ke Nippon Technology College atau Nippon Engineering. Semacam Politeknik di Indonesia. Di sini mempunyai 5 program keahlian, yakni : Creator Music, Information Technologi, Technology, Medical, dan Sport. Kesan pertama sama seperti saat memasuki Institut Of Tourism (megah, luas, rapi, bersih), sebuah kampus dengan suasana yang benar-benar menarik.

Mahasiswa belajar di bengkel masing-masisng di bawah bimbingan dosen. Mahasiswa berkonsultasi secara individual atau dalam kelompok kecil dengan dosen tertentu bila menemuui kesulitan.

Saya bertemu dengan 2 orang mahasiswa Indonesia di sini, asli Jakarta. Seorang dari mereka mengambil program Technology dan yang lainnya Broadcast. Mereka berdua juga bekerja sambil menjalani kuliah yang hampir selesai. Selain untuk mengisi waktu juga untuk menambah uang saku, menyesuaikan diri dengan mahalnya biaya

“Setelah lulus nanti, you kerja di Jepang atau pulang ke Indonesia” tanya saya kepada mereka berdua.

“Terserah pemerintah Jepang, biasanya kerja dulu di sini 2 tahun baru boleh pulang” Jawab salah seorang dari mereka.

“Kalau boleh milih, you pilih mana, pulang atau kerja di Jepang?” Saya bertanya lebih lanjut.

“Kerja di sini dulu, karena gajinya jauh lebih besar” Jelasnya mantap.

Pilihan keduanya tidaklah salah, karena memang lebih mudah mendapatkan pekerjaan di Jepang. Namun, menurut saya kalau dia pulang lalu mengembangkan, menularkan pengetahuan, keahlain dan bakatnya kepada siswa di Indonesia maka hasilnya jauh lebih baik bagi bangsa Indonesia.

Kabarnya, College ini pada tahun 2007 lalu bertindak selaku tuan rumah lomba Asian Skill bidang Technology tingkat SMK. Saat itu Indonesia juga mengirimkan duta sebagai peserta.

Menurut situs Wikipedia, kondisi pendidikan di Jepang adalah sebagai berikut : tingkat melek huruf 99,8% (1990), 100,0% (2000). Pendidikan wajib : 9 tahun (dari umur 6 sampai 15 tahun). Jumlah pelajar sekolah menengah yang maju ke pendidikan tinggi kira-kira 96%. Sementara jumlah penduduk Jepang pada tahun 2006 adalah 127.655.345 dengan kepadatan 323 / km persegi.

Dari data di atas terlihat betapa tingginya tingkat kesadaran warga Jepang dalam bidang pendidikan. Ini beda jauh dibanding dengan Indonesia yang tingkat droup out sekolah masih sangat tinggi. Belum lagi yang hanya berpendidikan sampai SD atau SMP bahkan yang buta huruf. Bagi pemerintah Indonesia masalah pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah yang berat.

Dalam perjalanan pulang ke hotel kami menyaksikan dari kejauhan Tokyo Tower yang tinggi menjulang. Dari kejauhan tidak semegah tugu monas. Rancangan bangunannya seperti tower BTS milik telkom atau operator telepon seluler lainnya di Indonesia.

Kerangka Tokyo Tower itu dibuat dari besi bercat merah bata dengan tinggi 333 m, di sekitarnya dilengkapi dengan taman sebagai penghias. Lagi-lagi, Grace dengan segala pengetahuannya yang utuh tentang Jepang tak henti-hentinya menceritakan tentang ini itu di sepanjang perjalanan.

Hari ini adalah terakhir kami di Jepang. Grace menawarkan oleh-oleh coklat almond yang rasanya sangat enak, green teatip Pak sopir. Bagi yang berminat bisa memesan hari itu, barangnya diantar esok pagi. Saya memesan coklat almond beberapa bungkus dan green tea untuk tambahan oleh-oleh. asli Jepang, dan gelang batu berenergi listrik. Dia bilang harga pabrik dan keuntungannya untuk menambah uang

oooOooo