Jumat, 23 Juli 2010

FUJIYAMA BAB V OLEH SUNYOTO

5. Kamaboko

Selasa pagi, 26 Pebruari 2008, kami meneruskan kunjungan ke perusahaan ikan kering. Nama perusahaan itu Kanta Maeda Fish Factory, berlokasi di Hokkaido Propinsi Shizuoka. Perusahaan ini kecil saja, berskala home Industri, mempekerjakan kurang lebih 25 orang pegawai.

Kebersihan dalam perusahaa ini begitu terjaga, produknya dijamin higienis. Tidak ada bau amis apalagi lalat beterbangan seperti banyak terjadi di perusahaan ikan kering di Gresik, Puger (Jember) atau Kraksaan (Probolinggo).

Setelah melihat-lihat proses pengolahan ikan, kami dipersilakan menuju ruang istirahat (ruang makan) karyawan. Ruangannya tidak terlalu luas namun cukup untuk menampung sekitar 25 orang. Ruangan itu biasa dimanfaatkan untuk beristirahat dan makan-minum pada pukul 10.00 setiap harinya.

Aliran pekerjaan utama dalam perusahaan itu adalah : membersihkan kotoran di dalam perut ikan, kemudian dikeringkan dalam sebuah almari oven besar. Berikutnya adalah proses pengemasan (packaging), dan terakhir didistribusikan kepada konsumen.

Proses memasaknya dengan cara dioven di dalam sebuah ruangan berukuran cukup besar, 16 meter persegi dengan tinggi 2 meter. Persis seperti kamar dilengkapi dengan mesin pengatur suhu. Sebelum dimasukkan oven ikan-ikan itu telah di masukkan dalan kotak-kotak plastik yang nantinya akan langsung dikemas. Hebatnya lagi, seluruh proses itu dilakukan tanpa menyentuh langsung ikan matang siap saji ini.

Kemasan produk ikan kering ini nampaknya telah melalui serangkaian riset pasar yang baik. Ada kesan mewah dan bergengsi, tidak seperti kebanyakan produk ikan kering yang sering kita dapati di pasar-pasar tradisional kita. Pokoknya tidak akan malu jika harus menenteng produk ini, meski di dalam pesawat sekalipun.

Rumah (gedung) itu dilengkapi pula dengan show case, sehingga ada aktifitas penjualan langsusng (direct selling) di lokasi itu. Sebagian produknya dipasarkan untuk memenuhi pesanan konsumen, biasanya dalam jumlah kecil (eceran). Perusahaan melengkapi dirinya dengan layan antar yang dilakukan oleh bagian pemasaran dan distribusi. Mereka memiliki armada pengiriman berupa sepeda motor yang masih baru dan bersih, mayoritas berwarna putih. Bicara soal kendaraan, di Jepang memang jarang ditemui kendaraan yang kotor berdebu apalagi karatan. Ini semua didorong oleh budaya malu dan kesadaran akan pentingnya kebersihan dan kesehatan.

Saat jam istirahat tiba, kami serombongan dipersilakan naik ke lantai dua. Ruang itu adalah tempat istirahat karyawan. Kami dipersilahkan untuk mencicipi ikan oven tanpa nasi plus minuman green tea panas yang diseduh sendiri oleh pemilik (bos) perusahaan. Di ruangan itu telah disiapkan meja kursi layaknya sebuah kantin. Kami menunggu ikan kering itu dipanggang hingga siap dinikmati.

Awalnya saya berfikir ikan ini pasti terasa asin seperti jenis ikan kering di Indonesia. Eh ternyata saya salah, rasanya gurih seperti ikan bakar, lezat dan tidak keras (tidak alot).

Seperti biasa setelah makan ada yang memiliki kebiasaan merokok. Bagi yang memiliki kebiasaan ini telah disediakan sebuah kamar kecil berdinding kaca transparan berukuran 2 X 3 m, tertutup rapat, sementara di bagian atasnya dilengkapi cerobong asap.

Sekitar dua jam kami bertahan di perusahaan ikan kering ini. Cukup sudah waktu berkunjung, kami pun berpamitan guna melanjutkan kunjungan ke tujuan berikutnya.

Kesan saya terhadap perusahaan ini, walau masuk dalam kategori usaha pribadi (UKM) tetapi dikelola secara profesional dan cukup modern. Faktor higienis menjadi perhatian utama, pegawainya memiliki kedisiplinan dan etos kerja tinggi. Yah, meski kecil namun berbasis teknologi, dalam arti tidak dikerjakan secara tradisional. Kecuali proses membersihkan ikan sebelum dimasak masih dikerjakan secara manual.

Kami serombongan segera mohon pamit, namun sayang kami tidak sempat berbelanja di situ, karena dalam fikiran kami, tentu akan sulit menyimpan ikan itu. Apalagi jika harus dibawa pulang ke Indonesia.

Dengan anggukan khas Jepang yang begitu sopan, mereka, para pegawai itu, membungkuk mengucapkan salam perpisahan. Dari tempat ini, rombongan berjalan kaki sejauh 500 meter menuju ke tempat parkir bus. Di tengah perjalanan kami berpapasan dengan rombongan kecil, sepertinya anak-anak sekolah dan pemuda atau mungkin kelompok peduli lingkungan, yang sedang bakti sosial membersihkan daerah kumuh.

Mereka membersihkan sampah atau barang yang tidak terpakai lainnya (bukan sampah daun atau sisa makanan) untuk diangkut ke mobil sampah. Saya perhatikan sejenak, mereka bekerja dengan riang. Padahal Jepang adalah negara besar dengan kota-kota besarnya yang bertaraf megapolitan, sehingga para pemudanya sudah bergaya hidup modern. Namun untuk urusan peduli lingkungan nampaknya tidak ada istilah megapolitan. Mereka masih tetap menunjukkan perhatian yang besar terhadap lingkungan.

Baiklah, kita tinggalkan mereka yang sedang asyik dengan aktifitas lingkungannya. Kami segera melanjutkan perjalanan. Seperti biasa, saya paling belakang masuk bus, selain memang kondisi kaki tidak bisa diajak berjalan cepat, saya benar-benar menikmati dan mengamati keadaan sekitar. Sebab jika sudah sampai di atas bus, pemandangannya monoton dan tidak bisa diperhatikan secara detail.

Sekitar pukul 11.00 kami sampai di musium bakso Kamaboko. Inilah keunikan lain dari negeri matahari terbit, bakso saja ada musiumnya. Musium ini berlantai dua. Lantai pertama untuk praktek membuat bakso secara tradisional, dilengkapi pula dengan arena pameran bermacam-macam cetakan bakso mulai dari masa awal pembuatan hingga jaman modern.

Ada juga rangkaian gambar proses pembuatan bakso pada jaman dulu. Lalu ada oven untuk menanak bakso, panggangan untuk membakar bakso, ada tempat bermain untuk anak dan juga lobby tempat istirahat sambil menyaksikan TV yang menayang proses pengolahan bakso dari tahun ke tahun. Di situ kami dapat menyaksikan sejarah pembuatan bakso mulai dari jaman kerajaan kuno di Jepang, membuat bakso dengan peralatan tradisional atau manual sampai pembuatan bakso secara modern yang serba mesin.

Kami menemukan keunikan lainnya di musium ini. Yaitu bentuk penyajian bakso ikan salmon yang bervariasi. Ada yang berbentuk ikan, bentuk bunga, bentuk buah, bentuk kotak, bentuk bulat lonjong dan lain-lain. Tentu berbeda dengan bakso di Indonesia yang mayoritas berbentuk bulat seperti bola pingpong (bola tenis).

Bakso Jepang berbahan baku ikan salmon dan bukan daging sapi, dengan warna alami coklat muda seperti warna daging. Namun pada perkembangannya dibuat juga bakso yang berwarna hijau, kuning, merah muda, coklat dan lain-lain. Kata Grace, bakso dibuat warna-warni semacam itu untuk menarik minat anak-anak agar lebih suka mengkonsumsi ikan demi kesehatan. Untuk urusan gizi dan kesehatan, kita memang harus belajar banyak kepada Jepang.

Untuk proses pembuatan bermacam-macam model bakso itu, di musium dipamerkan pula berbagai macam cetakan bakso dari tahun ke tahun. Foto lengkapnya ada di halaman berikut.

Pada kesempatan berikutnya kami dipersilakan untuk belajar membuat bakso tradisional bersama para pengunjung lain, dengan warna alami, warna ikan salmon. Pertama kami harus memakai celemek dan penutup rambut dari kertas khusus, lalu kami harus membasuh tangan dengan air es, dingin sekali. Selanjutnya di keringkan dengan kipas angin khusus.

Berikutnya kami diarahkan ke meja kerja berbahan marmer yang sudah disterilkan, satu meja untuk 10 orang. Di depan masing-masing peserta sudah disediakan 1 set peralatan berupa : 1 buah potongan kayu ukuran 4 x 10 x 1 cm, sebuah pisau stainless, 1 bilah bambu sebesar telunjuk atau ibu jari kira-kira 10 cm, dan bahan baku utama, adonan daging salmon kurang lebih seperempat kg.

Seorang instruktur mengajari kami dengan memberi keterangan dalam bahasa Jepang yang kami tidak bisa menangkap maksudnya. Untungnya sang instruktur sambil bicara juga langsung mempraktekkan cara membuat bakso, sehingga kami pun tinggal menirukan langkah-langkah seperti yang dilakukannya.

Hasilnya ? ada yang bagus ada pula jelek. Hasil pembuatan kemudian dimasukkan ke dalam ruang atau lemari perebusan. Selanjutnya kami praktek membuat bakso bakar yang bentuknya lonjong seperti jagung bakar. Pembuatannya dengan menggunakan pisau dan bambu sebagai pegangan, setelah selesai proses pembuatan, bakso dipanggang di atas panggangan listrik.

Hasil pekerjaan itu lalu kita makan sendiri. Tidak ada kekuatiran keliru (tertukar) karena pada tiap stick telah tertulis nama kita masing-masing.

Sambil menunggu bakso masak (sedang direbus sekitar 3-4 jam) kami makan siang di rumah makan Kamaboko yang tidak jauh dari musium. Menu masakan di situ serba bakso. Paket pertama bakso pembuka, kedua, ketiga, sampai penutup bakso semua, kami kenyang dengan bakso hari itu.

Di tengah rintik hujan sepanjang trotoar menuju rumah makan itu, bunga sakura, si bunga khas Jepang, nampak mulai berbintil-bintil di ujung daunnya. Menurut keterangan, kira-kira tiga minggu atau sebulan lagi akan mulai berbunga.

Pada saat itu pasti wajah kota semakin cantik memesona. Sampai hari itu saya sudah merasakan sinar matahari yang tidak terasa terik, merasakan rintik hujan, merasakan dinginnya angin salju walau bukan hujan salju. Namun terasa ada yang kurang, bunga sakura belum mekar.

Selepas makan siang kami kembali lagi ke Kamaboko untuk mengambil hasil kerja praktek pembuatan bakso tradisional. Namun ternyata belum masak juga. Untuk mengisi waktu Grace mengajak kami ke musium elektronik Toshiba, yang lokasinya tidak jauh dari Kamaboko.

Musium ini milik perusahaan Toshiba yang awalnya hanya membuat radio, mesin cuci, serta bola lampu pada tahun 1886. Sekarang mereka telah mampu membuat sejumlah produk elektronik modern untuk berbagai keperluan manusia.

Di Jepang memang banyak sekali musium yang dibangun oleh perusahaan untuk keperluan ilmu pengetahuan dan jejak sejarah perkembangan perusahaan mulai awal usaha sampai masa gemilangnya.

Saya menjadi teringat kata-kata Bung Karno, Presiden pertama Indonesia, ”JAS MERAH” atau jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ya, seperti itulah makna kata-kata itu, persis seperti yang dilakukan oleh perusahaan Jepang.

Hampir semua perusahaan memiliki musium, demi menelusuri jejak sejarah. Sebab sejarah mempunyai tiga dimensi, yaitu untuk melihat masa lalu, masa kini dan masa depan.

Dengan musium kita dapat ditelusuri jejak sejarah. Di Indonesia beberapa sekolah yang umurnya sudah mencapai puluhan tahun, saya pikir baik juga dibuatkan musium. Selain untuk tujuan studi banding juga bisa sebagai tujuan wisata pendidikan.

Sepulang dari musium elektronik Toshiba kami kembali lagi ke Kamaboko untuk mengambil bakso buatan kami tadi pagi. Bakso yang kami buat sudah matang bahkan telah dikemas dalam kotak, seperti kotak kue ulang tahun anak-anak di Indonesia. Sengaja saya bawa pulang ke Indonesia untuk oleh-oleh atau kenang-kenangan bahwa di Jepang saya pernah mencoba membuat bakso yang berbeda dengan bakso di Indonesia.

Beberapa hari lagi kami harus pulang ke Indonesia, saya ingin menunjukkan karya ini kepada anak dan istri di rumah. Ah, jadi kangen rumah, namun saya harus bertahan hingga rampung.

Pukul 18.00 Kami meninggalkan Kamaboko lalu check in di hotel ” Crown Plaza” Metropolitan Tokyo. Hotel ini cukup mewah, hampir sama seperti hotel berbintang di Jakarta atau Surabaya.

Sebetulnya kaki sudah pegel banget (capek sekali) ingin segera istirahat, tidur, Tetapi perut keroncongan minta diisi, dan pastinya kalau tidak dituruti bisa mengganggu acara istirahat.

oooOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar