Rabu, 28 Juli 2010

FUJIYAMA BAB VI OLEH SUNYOTO

6. Episode Panik

Malam itu untuk makan malam saja kami harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 1 km dari hotel. Saya lupa nama restorannya, yang jelas Chinese foods. Sambil menata nafas dan merasakan pegalnya kaki, saya susah payah menaiki tangga ke lantai dua rumah makan.

“Alamak, mau makan saja cik sarane (susah sekali)” saya menggumam dalam hati.

Sesaat saya menebar pandangan ke seluruh ruangan, sekedar mencari tempat duduk, tiba-tiba, “Sini pak, Bapak duduk disini” seru Grace seraya menunjuk ke arah meja yang masih kosong.

“Terima kasih” Jawab saya sambil berjalan menuju meja yang dimaksud. Kami harus menunggu beberapa jenak hingga masakan satu persatu dihidangkan. Adatnya, di restoran Jepang tidak disarankan satu fase hidangan langsung disantap habis, bisa-bisa keburu kenyang. Padahal menu berikutnya yang tak kalah enak masih terus disajikan. Jadi harus menerapkan strategi, cicipi sedikit-sedikit dulu, kalau sudah lengkap baru diserbu habis.

Amboy ! rancak bana, selera makan langsung naik, karena sudah beberapa hari tidak ketemu masakan berselera Indonesia. Apalagi baru saja gerak jalan sejauh 1 km dari hotel tadi. Di rumah makan inilah menu makanan mirip dengan masakan Indonesia, namun sayang beberapa menu yang dihidangkan telah habis. Yang jelas kami kenyang dan puas, tidak seperti hari-hari sebelumnya, hanya kenyang tetapi kurang puas.

Selesai makan, Grace memberi kesempatan kepada kami untuk acara bebas, tak lupa dia berpesan untuk hati-hati, jangan sampai kesasar. Jalan pulang menuju hotel memang dijelaskan tetapi kami bertiga tidak terlalu perhatian. Kami menganggap remeh penjelasan itu dan lebih memilih ngobrol sendiri. Namun saya sempat merekam kalimat terakhir Grace bahwa dia tidak langsung pulang ke hotel melainkan pulang ke rumah sebentar. Sehingga kami diberi kebebasan untuk berjalan sendiri menuju hotel. Grace juga berpesan agar tetap berkelompok agar bisa saling mengingatkan dan tidak hilang.

Kami bertiga, saya, Pak Jamudin dari Jakarta, serta Pak Syaiful Amuda dari SMK Negeri 2 Gorontalo berjalan terpisah dengan rekan yang lain. Ibu-ibu pergi terlebih dulu bersama Grace. Sementara sebagian Bapak-bapak pergi bersama Gusmar. Sebenarnya kami ingin gabung dengan Gusmar, namun kami bertiga terlambat karena masih harus ke toilet. Dan seperti biasa, saya lah yang paling belakang.

”Kemana rekan-rekan yang lain ?” Saya bertanya kepada Pak Jamudin dan Amuda, berharap salah satu dari mereka memberikan jawaban.

”Kesana” Jawab Pak Amuda sambil menunjuk kearah kiri. Pak Jamudin nampak mengiyakan jawaban Pak Amuda.

”Terus sekarang, kita mau kemana ?” lanjut saya.

”Gimana kalau kita jalan ke arah sebaliknya” usul Pak Amuda.

”Pak Jamudin...oke ?” tanya saya mencoba memastikan, yang ditanya menjawab dengan anggukan ringan.

Kami bertiga sepakat mengambil jalan berlawanan arah dengan kelompok pertama. Awalnya kami bertiga cukup enjoy dan penuh percaya diri tanpa kuatir tersesat. Kebetulan jalanan juga sedang ramai lalu lalang orang pulang kerja. Tanpa terasa kami telah jauh berjalan hingga lupa arah untuk pulang ke hotel. Ini semua karena nama jalan dan berbagai informasi lainnya ditulis dalam huruf kanji.

”Awas nanti nyasar lho, tidak bisa pulang”. Saya mencoba mengingatkan dua rekan yang lain.

”Tenang Pak Nyoto, kita kan membawa ID card hotel” sahut Pak Amuda berusaha menenangkan.

Kami bertiga memiliki keyakinan bahwa lokasi hotel itu sebetulnya tidak terlalu jauh, sehingga kami tetap mencarinya dengan berjalan kaki. Kaki saya semakin pegal saja rasanya, urat-urat kaku hingga hampir kram. Sambil terus berjalan saya berusaha menahan rasa sakit sehingga tertinggal di belakang 2 rekan lain.

Dalam situasi seperti itu saya berusaha tetap tenang, sebab kalau sampai panik bisa berbahaya, bisa-bisa gak pulang beneran. Di tengah keputusasaan akhirnya kami bertanya kepada seorang petugas keamanan yang sedang melintas tidak jauh dari kami bertiga. Sebelum bertanya kami menunjukkan ID card hotel, ”Excuse me sir, where is ...” Pak Amuda bertanya sambil menunjukkan ID card itu dalam bahasa Inggris dicampur dengan bahasa Tarsan (isyarat).

Petugas itu menunjuk ke satu arah yang kemudian kami ikuti. Ya, setelah mengucapkan terima kasih kami pun menyeberang jalan sesuai petunjuk petugas tadi. Walau menuruti petunjuk petugas sebenarnya saya tidak yakin akan kebenaran petunjuk itu, feeling saya mengatakan, petunjuk itu salah. Benar saja, jalan menuju rel kereta api ternyata masih separoh perjalanan, keraguan mulai menyergap kami bertiga.

”Apa kita mau naik kereta itu saja Pak, tapi kemana tujuannya ?” Saya mencoba bertanya untuk memecah kebisuan.

Seperti tersadar, mereka berdua sontak balik kanan, saya ikuti langkah mereka berdua dari belakang, keluar lagi dari stasiun.

”Sial benar malam ini, kenapa kita tadi tidak mendengarkan petunjuk Grace” Saya menggerutu.

Kami bertiga kembali meneruskan berjalan kaki. Berbalik arah, dengan maksud kembali ke restoran tempat kami makan malam tadi, eh ternyata tidak ketemu juga. Bahkan ternyata kami kembali ke jalan yang pertama ditunjukkan petugas keamanan tadi. Aduh, mana sudah jam sepuluh malam lagi, pasti rekan-rekan di hotel sudah gelisah menunggu kami. Di tengah situasi ketidakpastian itu, saya mengambil inisiatif kembali bertanya kepada seorang petugas pemadam kebakaran (hanya perkiraan saya saja itu adalah kantor pemadam kebakaran, sebab di situ ada beberapa mobil tangki pemadam kebakaran, atau sedot WC ? saya kurang faham juga).

Excuse me sir, can you help me. Where is Crown hotel” Tanya saya sambil menunjukkan ID card hotel.

Petugas itu berusaha memahami kalimat saya, dan semakin faham tatkala saya menunjukkan ID card hotel. Tak lama kemudian dia menunjuk arah kembali ke stasiun, sebetulnya saya mulai emosional dengan jawaban itu. Namun karena saya yang paling tua diantara kami bertiga, sayapun berusaha menahan diri untuk tidak marah, emosional, apalagi panik. Dengan sangat terpaksa dan berbagai pertimbangan yang mulai tidak rasional, kami berjalan kembali, balik arah seperti petunjuk petugas pemadam kebakaran itu.

”Sebentar sebentar” kata saya mencoba menahan langkah, mereka berdua saya tinggal masuk ke sebuah kantor, nampaknya seperti sebuah bank. Kembali saya bertanya di dalam kantor itu setelah sebelumnya menunjukkan ID card hotel, Excuse me, I want go to Crown hotel, can you help me. Where are we must go?” Tanya saya kepada seorang petugas yang berpakaian necis, berjas dan berdasi.

Laki-laki muda itu menunjuk ke arah yang sama dengan petugas kebakaran tadi, tetapi kelihatannya dia juga sedikit ragu. Itu sudah cukup membuat saya makin yakin bahwa arah itu benar.

”Thank you” Jawab saya singkat sambil memberikan senyum yang jauh dari tulus.

”Sudah sudah, saya sudah tak sanggup berjalan kembali ke arah sana tadi, sebaiknya kita naik taksi saja, gimana ?” Saya menyampaikan usulan, tentu seramah mungkin walau hati ini sebenarnya merasa jengkel kepada mereka berdua.

Mereka tidak menjawab, mungkin takut ongkosnya mahal, sebab Grace pernah mengatakan ongkos taksi disini sangat mahal. Ah, kelamaan kalau harus menunggu persetujuan mereka, maka saya pun memutuskan segera memanggil sebuah taksi, ”Taksi !” Setengah berteriak saya memanggil taksi sambil melambaikan tangan.

Taksi berhenti tepat di depan kami, ternyata sopirnya sudah agak tua.

Excuse me, I want to go to Crown hotel metropolitan, can you help me ?” Sapa saya sambil menunjukkan ID card hotel.

Sopir taksi itu mengamati ID card dalam genggaman saya, manggut-manggut kemudian menjawab, “Haik !

“Are you sure ? do you know this hotel ? ” Tanya saya berusaha memastikan.

”Haik !” dia menjawab dengan isyarat ibu jarinya.

Kami bertiga segera masuk ke dalam taksi, sejenak kami tenggelam dalam diam, bermain dengan fikiran masing-masing.

”Pak, sesampai di hotel, kalau ditanya dari mana, jangan bilang kalau kita nyasar ” Pinta pak Jamudin kepada kami berdua.

”Kenapa memangnya kalau jujur” Taya saya penasaran.

”Lalu kita mau bilang apa” Pak Amuda menimpali pula.

”Malu lah pak, bilang aja kita hang out atau apa lah, gitu” sergah pak Jamudin.

Baru sekitar lima menit perjalanan, berbicara beberapa kata, eh ternyata sudah sampai di halaman hotel.

How much ?” tanya saya kepada Pak sopir.

”1000 yen” Jawabnya ramah sambil mengangkat telunjuk kirinya.

Arigatou gosaimas” Saya mencoba berterima kasih dalam bahasa Jepang sembari mengulurkan seribu yen padanya.

Arigatou gosaimas” Jawab si sopir taksi lalu bergegas pergi

Begitu kami turun dari taksi, Gusmar muncul di teras hotel. Gusmar, Tour leader kami yang tubuhnya kecil, berwajah midle-east, tetap berusaha ramah, walau sebenarnya dia pasti cemas dan kesal menunggu kedatangan kami bertiga.

”Tersesat kemana Pak ?” Tanya Gusmar.

”Maaf, sudah lama menunggu kami disini ya ?” Jawab saya diplomatis, sekenanya saja, dan justru balik bertanya supaya tidak mengecewakan Pak Jamudin.

”Lama banget Pak, saya sampai bolak balik dari kamar, ke lobi, ke halaman depan, belakang. Kami betul-betul cemas Pak” Jawabnya sedikit kesal.

”Maaf kami tadi jalan-jalan ke stasiun bawah tanah. Melihat aktifitas di sana, eh nggak terasa sudah larut ternyata” Pak Jamudin menimpali.

”Yah sudahlah yang penting kami sudah kembali dengan selamat, sekali lagi kami mohon maaf. Yuk, kami ke kamar dulu ya, saya benar-benar capek nih” kata saya sambil menepuk-nepuk bahu Gusmar.

Barangkali Gusmar iba juga melihat saya yang sudah tua, berjalan pun susah pula. Atau mungkin dia kalah wibawa, atau disengaja untuk menghargai saya. Saya justru salut kepada Gusmar, sebagai Tour Leader dia mampu menunjukkan kesabaran dan tidak mau menyakiti perasaan klien-nya. Mungkin ini aplikasi dari prinsip ”pembeli adalah raja”. Gusmar menunjukkan rasa tanggung jawab dengan berkorban naik turun, berkeliling lobi hotel untuk sekedar menunggu kami, tentu dengan perasaan tegang.

Ya, begitulah seharusnya seorang Tour leader profesional, hati boleh panas tetapi kepala haruslah tetap dingin. Kami berempat segera menuju lift, pencet tombolnya, tunggu sebentar pintu lift buka otomatis. Kami berempat masuk dan diam membisu seribu bahasa. Tak lama kemudian sampailah kami di lantai 4. Wah di pintu kamar yang kami lewati Grace juga sudah menyambut kami dengan senyum termanisnya, inilah yang justru membuat kami bertiga bertambah malu.

”Banyak pengalaman malam ini Pak, tidak nyasar kan ?” Sapanya ramah berusaha membuang semua bentuk kecemasan.

”Yah, sedikit” Jawab saya pendek saja.

”Aduh Bapak, pasti capek kan ? ya sudah segera istirahat ya Pak” kata Grace lebih lanjut. Serasa sedang berhadapan dengan orang yang paling bijaksana sedunia !

”Terima kasih, kami ke kamar dulu ya, selamat malam” Saya menyahut kalimat Grace dengan ramah, diikuti dua teman senasib sepenanggungan.

”Selamat malam Pak, selamat beristirahat” Grace tetap menebar senyum lalu menutup pintu kamarnya.

Seperti kepada Gusmar, saya salut pula pada Grace, selaku guide dia profesional. Tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran wanita. Hampir sepundak saya, kulitnya kuning langsat dan selalu rapi dalam penampilan saat bertugas.

Di dalam bus dia berdiri di tempat yang memang telah disediakan untuk bercuap-cuap seperti penyiar radio. Suaranya enak di telinga, ada saja bahan pembicaraan. Selain itu dia pintar membaca situasi. Grace sendiri bersuamikan orang Jepang, telah dikaruniai 2 orang anak, laki-laki dan perempuan.

Saya, Pak Jamudin dan pak Amuda berbeda kamar. Segera saja kami berpisah dan masuk ke kamar masing-masing. Sesampai di dalam kamar ternyata Pak Usman, teman sekamar saya, belum tidur, masih melihat TV.

”Untung bisa pulang Pak, nyasar kemana ?” Candanya setengah meledek.

”Memangnya anak kecil ? tidak bisa pulang” Saya balas bercanda padanya.

Setelah ganti pakaian saya segera merebahkan diri di tempat tidur. Tanpa diminta saya mulai bercerita dari awal setelah makan malam hingga akhirnya bisa pulang kembali ke hotel dengan selamat.

Pengalaman malam ini memberi pelajaran kepada kita semua (khususnya kami bertiga) bahwa tiap orang harus selalu berkonsentrasi penuh pada situasi apapun. Ketika senang jangan terlalu larut sehingga tidak peduli sekitar. Dan sebaliknya ketika ditimpa masalah harus tetap sabar. Berfikir jernih serta senantiasa berdoa mohon petunjuk-Nya untuk bisa keluar dari masalah.

Orang bijak mengatakan bahwa seseorang mengetahui suatu kebenaran, karena belajar dari kesalahan. Menurut saya itu tidak salah, namun akan lebih baik jika kita mempelajari suatu kebenaran dari kebenaran pula, tidak harus salah terlebih dahulu.

oooOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar