Jumat, 09 Juli 2010

FUJIYAMA OLEH SUNYOTO (BAB II)

2. Jangan Takut Bermimpi.

Sejatinya saya tak pernah berani memimpikan pergi ke luar negeri. Realistis saja, saya ini siapa ? Saya tak punya cukup uang ! jika pun ada, jumlah itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga plus biaya sekolah anak-anak. Tetapi ternyata saya salah, “Banyak jalan menuju Roma” begitu bunyi pepatah yang terkenal itu. Orang harus punya mimpi (cita-cita) yang tinggi. Dengan harapan suatu saat mimpi itu menjadi kenyataan.

Mimpi atau cita-cita itu penting guna merangsang otak agar berfikir tentang mimpi itu tadi. Bila mimpi itu hanya difikirkan saja, maka akan tetap menjadi khayalan sehingga kita hidup dalam alam khayal. Agar mimpi itu menjadi nyata kita harus melakukan action atau tindakan dan upaya yang keras dalam merintis terwujudnya mimpi itu.

Ada seorang murid saya yang menyukai pernak pernik Jepang, kesukaannya itu pada akhirnya mendorong si anak mengabadikan khayalannya tentang Jepang dalam bentuk lukisan ala Jepang. Mulai dari bunga sakura, gadis berkimono, pendekar samurai dan lain-lain, semua serba Jepang.

Demikian itu adalah salah satu bentuk mimpi yang dinyatakan dalam aktifitas nyata, kalau mau siswa ini bisa saja suatu saat datang ke Jepang melalui program beasiswa, diawali dengan berusaha keras belajar bahasa Jepang, lalu seni dan budaya Jepang, kemampuan akademis yang mumpuni dan mencoba keberuntungan ikut tes di kedutaan Jepang.

Contoh lain, saya sering

mengelilingi dunia kemudian berusaha keras dengan berbagai upaya, misalnya dengan bersepeda angin, bersepeda motor atau naik kapal sendirian. Wow, benar-benar spektakuler !

Setelah gagal berangkat ke Jepang, saya mulai memimpikan keliling dunia selagi bisa. Sesekali melihat kehebatan negara lain itu perlu, dengan demikian kita dapat memetik berbagai hikmah dari pengalaman itu dan bisa pula mencecap hal-hal positif. Syukur-syukur bisa diterapkan untuk kemajuan negeri ini.

Jadi, bukan sekedar latah meniru langkah Presiden, para pejabat atau anggota DPR yang sedang demam studi banding ke luar negeri. Karena saya adalah seorang pegawai negeri sipil maka cara yang saya tempuh adalah ketika ada kesempatan dinas, agar tidak mengganggu tugas saya sehari-hari.

Sekitar Februari 2008, datang sebuah berita menggembirakan, saya akan diberangkatkan ke Jepang. Sebetulnya masih ada sedikit keraguan (trauma) karena kegagalan berangkat ke Jepang tempo hari. Untuk meyakinkan kebenaran berita itu saya harus menghubungi banyak pihak termasuk rekan sejawat sesama kepala sekolah, yang dulu gagal berangkat. Kali ini saya tidak berani memberi tahu siapapun, sebelum yakin dengan keberangkatan itu sendiri, takut mendapat malu lagi.

Ya, memang benar, adalah langka seorang guru bisa pergi ke luar negeri tanpa dibiayai negara. Jadi, satu-satunya harapan untuk bisa pergi ke luarnegeri adalah untuk urusan dinas yang dibiayai negara.

Banyak hal positif bisa dipetik dari pengalaman pergi ke luar negeri. Insya Allah pengalaman itu dapat memberikan motivasi dan inspirasi untuk pengembangan pendidikan di dalam negeri. Untuk urusan ini, saya salut kepada Pemkab. Jember yang berani mengagendakan studi edukasi ke luar negeri bagi kepala sekolah, guru, siswa dan juga staf tata usaha yang berprestasi, secara bergilir. Saya yakin, semakin banyak personil pendidikan yang diberikan kesempatan ke luar negeri, semakin berdampak positif bagi perkembangan dunia pendidikan itu sendiri.

Saya mulai mengikuti proses meraih mimpi itu. Proses dan usaha keras adalah bagian yang harus dilakukan agar mimpi menjadi kenyataan. Bulan Desember 2007 saya dipanggil Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Jakarta, untuk sekali lagi meakukan pendaftaran dengan mengisi berbagai form isian seperti yang pernah saya lakukan September 2007 silam.

Mulai data pribadi hingga data sekolah saya lengkapi, ini penting karena saya masuk kategori tugas dinas atas nama sekolah sebagai Kepala SMK Negeri 1 Jember. Tak lupa saya mengumpulkan pas foto untuk kelengkapan pengurusan paspor dan visa.

Pengisian form ini serasa mengorek luka lama, rasa kecewa akibat gagal berangkat tahun lalu. Namun, semangat meraih mimpi mengalahkan perihnya luka, mimpi ini harus diperjuangkan dengan keras, maka proses ini saya lakukan sekali lagi dengan harapan semoga tidak gagal lagi. Kali ini kinerja Direktorat lebih cermat karena jumlah peserta yang diurus lebh sedikit dibanding tahun periode sebelumnya.

Ketika saya menanyakan berapa orang yang mengurus paspor dan visa, ternyata semua rekan kepala sekolah yang dulu gagal berangkat ke Jepang namanya tercantum dalam daftar itu. Setiap ada perkembangan baru kami selalu diberi kabar oleh Bu Ita, seorang staf Direktorat yang khusus bertugas menangani keberangkatan kami. Sebagai penyeimbang saya pun sering melakukan kontak balik demi datangnya sebuah kabar baik. Selain itu saya juga aktif menghubungi Pak Masrukin, Kepala SMK Negeri 1 Pogalan Trenggalek yang dulu juga gagal berangkat. Ternyata dia belum tahu tentang hal ini, segera saja dia mengurus ke Jakarta untuk mendaftarkan diri.

Awal Januari 2008 saya mendapat kabar dari Jakarta bahwa paspor dan visa sudah beres. Jadi tinggal menunggu jadwal keberangkatan yang diperkirakan sekitar bulan Pebruari. Masa-masa yang menggelisahkan pun dimulai, masa menunggu kepastian tanggal keberangkatan, serta jadi tidaknya berangkat.

Akhirnya, pada tanggal 23 Pebruari 2008 pukul 22.10 WIB, jadi juga saya terbang ke Jepang dengan menumpang JAL bernomer penerbangan 726. Saya mendapat tiket kelas ekonomi, tak mengapa yang penting jadi berangkat ke Jepang. Ketika pesawat mulai take off, gedung-gedung bertingkat di Jakarta nampak seperti hutan kubus.

Rombongan kali ini berjumlah 22 orang, terdiri dari 1 orang Tour Leader ITC Tour Jakarta, Gusmar namanya. 17 orang Kepala SMK SBI dari berbagai propinsi di Indonesia termasuk saya ditambah dengan 4 orang staf Depdiknas Jakarta. Perjalanan memakan waktu 8 jam, sebagian besar waktu di pesawat saya manfaatkan untuk tidur karena payah. Dan lagi suasana di luar gelap gulita sehingga percuma saja, tidak ada pemandangan yang bisa disaksikan.

Saya hanya dapat melihat sorot lampu di sayap pesawat. Sesekali saya terbangun lantas menyaksikan layar TV kecil yang terpasang di setiap bagian belakang sandaran kursi pesawat sambil menikmati hidangan yang senantiasa disajikan oleh pramugari.

Selama 8 jam penerbangan kami mendapat jatah 2 kali makanan kecil, 1 kali makan malam yang dihidangkan gratis oleh para pramugari nan rupawan yang asli Jepang. Mereka rata-rata tinggi semampai persis seperti para pramugari Indonesia. Rata-rata bertinggi badan di atas 165 cm. Semua pramugari berkomunikasi dalam bahasa Inggris style Jepang dan Bahasa Jepang. Pilot pun dalam memberi info juga dalam bahasa Jepang dan juga Inggris.

Menu minuman boleh pilih apel juice, orange juice, water, aneka soft drink dan yang menghangatkan seperti coffee dan green tea. Menu makan boleh pilih salah satu antara ayam dan ikan laut.

Pesawat JAL ini berukuran besar. Terbagi dalam 3 kelas, yaitu : paling depan kelas eksekutif dengan kapasitas 30 kursi. Di belakangnya adalah kelas bisnis dengan jumlah seat 180 kursi. Dan paling belakang, yang saya tempati, kelas ekonomi berjumlah 180 kursi.

Tarif kelas ekonomi waktu itu USD 427 (setara dengan Rp 3.971.100,- dengan kurs Rp. 9.300 per USD), airport tax & flight insurance sebesar USD 233.50 (setara dengan Rp 2.171.550,-) untuk sekali perjalanan.

***

Sedikit mengenal negara yang akan saya kunjungi. Saya cuplik dari berbagai sumber. Jepang yang dalam bahasa Jepang disebut Nippon atau Nihon, secara harafiah dapat diartikan sebagai "asal-muasal matahari". Negara ini adalah sebuah negara di Asia Timur yang terletak di suatu rantai kepulauan benua Asia di ujung barat Samudera Pasifik. Pulau-pulau besar membentang dari utara ke selatan, pulau Hokkaido, pulau Honshu (pulau terbesar), pulau Shikoku dan pulau Kyushu. Beberapa pulau kecil berada berdekatan dengan keempat pulau ini termasuk sebuah kelompok pulau-pulau kecil yang berada di sebelah selatan di Okinawa.

Nippon atau Nihon dalam bahasa Jepang ditulis dalam huruf Kanji. Sebutan Nippon sering digunakan dalam urusan resmi, sedangkan Nihon biasanya digunakan dalam urusan tidak resmi, seperti pembicaraan atau percakapan harian. Kata Nippon dan Nihon juga berarti "negara matahari terbit". Nama ini berasal dari utusan resmi negara China, dan merujuk kepada kedudukan relatif Jepang di sebelah timur benua Asia. Sebelum itu, Jepang dikenal sebagai Yamato. Kata Jepang dalam bahasa Indonesia diturunkan dari kata Jepun, berasal dari Bahasa Kanton yang membawa sebutan Yat Pun. Sebutan resmi Jepang dalam bahasa Jepang ialah Nipponkoku atau Nihonkoku, yang berarti negara Jepang.

Industri konstruksi Jepang dibantu oleh proyek sipil yang besar. Salah satu proyek yang paling terkenal adalah Bandara Internasional Kansai yang dibangun di atas sebuah pulau buatan, proyek pembangunan bandara ini menelan dana USD 30 milyar. Ekonomi pasar bebas dan industri Jepang merupakan nomer ketiga terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan RRC dilihat dari segi paritas daya beli internasional. Ekonominya sangat efisien dan bersaing dalam area yang berhubungan dengan perdagangan internasional tetapi produktivitas lebih rendah di bidang agrikultur, distribusi, dan pelayanan. HDI (Human Development Index – Indeks Pembangunan Manusia) menduduki peringkat ke-9. Reporters without borders atau kebebasan pers berada pada peringkat ke-44 sedangkan PDB per kapita berada pada peringkat ke-17.

Pertumbuhan penduduk Jepang diperkirakan akan berhenti sama sekali karena wanita lebih memilih berkarir. 20% penduduk berumur lebih dari 65 tahun pada tahun 2007. Perubahan dalam struktur demografi telah menimbulkan pelbagai isu sosial, terutama potensi penurunan tenaga kerja dan peningkatan biaya keselamatan sosial seperti rencana cuti umum. Ahli demografi pemerintahan Jepang kini dalam perdebatan hangat mengenai cara menangani masalah ini. Imigrasi dan penggalakan kelahiran kadangkala dicadangkan sebagai satu cara penyelesaian untuk membekali tenaga kerja muda untuk menyokong pertumbuhan masyarakat yang semakin tua ini dengan serikat buruh (shunto); hubungan baik dengan birokrasi pemerintahan, dan jaminan karir sepanjang hayat (shushin koyo) untuk hampir sepertiga tenaga kerja di kota, dan jaminan kontrak kerja bagi buruh. Perusahaan kecil dan sederhana, wanita, dan pekerja asing biasanya tidak mempunyai fasilitas seperti itu. Bagaimanapun, kebanyakan ciri tersebut semakin terkikis, dan keadaan ekonomi kini sedang berhadapan dengan situasi stagnasi.

Perindustrian merupakan sektor ekonomi yang paling utama buat Jepang yang amat bergantung pada impor bahan mentah dan minyak. Pertanian yang merupakan sektor ekonomi yang kecil, mendapatkan subsidi yang tinggi dan merupakan satu sektor ekonomi yang dilindungi. Hal Ini dapat dilihat dengan jelas pada pertanian yang melibatkan beras. Beras yang diimpor dikenakan pajak sebanyak 490% dan pemerintah hanya membolehkan kuota sebanyak 3% dari jumlah beras yang ada di pasaran beras. Selain melindungi pasaran beras, Jepang juga mengadakan usaha untuk menciptakan buah-buahan dan sayur-sayuran yang berkualitas tinggi dan enak. Biasanya Jepang mampu menampung keperluan beras rakyatnya sendiri, kecuali beras yang dipakai untuk membuat makanan ringan dan makanan olahan. Namun negara ini perlu mengimpor kira-kira 50% kebutuhan serealia dan makanan ternak. Jepang mempunyai salah satu industri perikanan yang terbesar di dunia yang mencakup hampir 15% penangkapan ikan seluruh dunia. Ada dugaan bahwa industri perikanan Jepang mengakibatkan jumlah ikan di laut berkurang secara drastis, khususnya ikan tuna.

Secara keseluruhan, selama tiga dekade, pertumbuhan ekonomi sebenarnya amat mengagumkan: rata-rata 10% pada dekade 60-an, rata-rata 5% pada 70-an, dan rata-rata 4% pada 80-an. Pertumbuhan ini mulai melesu pada dekade 90-an, terutama disebabkan dampak sampingan perburuhan secara berlebihan selepas tahun 1980-an dan dasar-dasar ekonomi pengurangan inflasi yang bertujuan membebaskan diri dari kelebihan spekulasi pasaran saham dan harga penjualan tanah. Usaha-usaha pemerintah untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi kurang berhasil dan terus terjepit pada tahun 2000 samapai tahun 2001.

Hal itu menyebabkan PM Junichiro Koizumi mengesahkan atau meluluskan - tetapi adakalanya gagal - Undang-undang perburuhan asing dan swastanisasi secara besar-besaran yang dipercaya dapat membantu merangsang kembali ekonomi Jepang. Sejauh ini Undang-undang tersebut kelihatan menunjukkan hasil dalam berbagai aspek seperti perburuhan asing, namun sejauh ini juga belum dapat membantu ekonomi Jepang untuk tumbuh kembali. Perdana Menteri Koizumi berhasil meluluskan rancangan swastanisasi besar termasuk swastanisasi semua kantor pos Jepang.

***

Yang jelas Jepang adalah negara maju dalam banyak hal sehingga datang ke sana lalu melakukan pengamatan langsung adalah sebuah pengalaman positif yang menguntungkan bagi seorang guru seperti saya.

Kita kembali pada cerita perjalanan saya ke Jepang. Minggu pagi pukul 07.20 waktu Jepang atau pukul 05.20 WIB, kami mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Narita.

Sedikit tidak nyaman ketika pesawat akan landing. Angin bertiup begitu besar sehingga pesawat terasa berguncang seperti bus yang sedang melintas di jalanan bergelombang dan berlubang. Untungnya hanya sebentar, sehingga tak lama kemudian pesawat bisa mendarat dengan lancar. Kami serombongan menuju pintu keluar dan berderet satu demi satu dengan tertib, diperiksa oleh petugas imigrasi sebelum keluar dari bandara. Masing-masing memerlukan waktu 10 sampai 15 menit.

Setiap orang yang masuk ke Jepang akan difoto otomatis (CCTV) ketika berdiri di depan counter pemeriksaan. Ketika semua sudah beres, kami bergegas keluar bandara. Seorang guide yang dipersiapkan oleh ITC Travel telah siap menjemput.

Kesan pertama ketika keluar dari bandara, angin basah mengandung es menerpa cukup keras, dingin sekali, udaranya bersih, tidak ada debu beterbangan. Mulut mengepulkan asap tiap kali berbicara, padahal saya tidak sedang merokok. Mungkin kalau difoto layaknya Cowboy Amerika dalm film-film yang saat berbicara mengepulkan asap akibat udara dingin di sekelilingnya.

Kami bergegas masuk ke dalam bus wisata yang sudah disiapkan untuk membawa ke tujuan berikutnya. Saya dan rombongan dijemput Grace Tanaka, pemandu kami selama di Jepang. Perempuan ini kelahiran Jakarta tetapi berdarah Jepang. Tinggi badannya kira-kira 160 cm. Dengan berat badan ideal dengan tingginya. Semampai, tidak gendut tidak pula kurus, berkulit kuning langsat, berhidung mancung, berambut hitam diurai sampai di bawah pundak. Kedua matanya sedikit sipit, fasih sekali berbahasa Indonesia dan banyak tahu tentang Indonesia. Bila berkomunikasi dengan kami dia menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan bila bicara dengan sopir bus otomatis menjadi Jepang banget.

Sungguh pagi ini saya lelah dan mengantuk setelah semalaman melayang-layang di udara. Andai Grace memberikan pilihan : tidur atau meneruskan perjalanan, pastilah kami semua lebih memilih istirahat dan tidur. Tetapi jadwal tour sudah diatur, mau tidak mau, suka tidak suka harus berangkat.

Pagi itu, dari Bandara Internsional Narita, kami naik bus wisata Seian Kenko menuju ke Ginza, pusat perbelanjaan elite dan termahal di Tokyo. Sepanjang perjalanan, kami melewati jalan tol, jalan pegunungan dan banyak jalan terowongan. Tidak ada orang berjalan atau bersepeda motor. Jalanan sepi seperti kota mati. Rumah-rumah penduduk yang kami lalui tertutup rapat semua karena sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tak peduli laki-laki dan perempuan. Dari Grace kami mendapat informasi bahwa hampir semua orang Jepang, baik laki-laki maupun perempuan semuanya bekerja. Jika sampai tidak bekerja, biasanya karena orangnya bodoh sehingga tidak diterima bekerja dimana-mana.

Ketika itu musim dingin sehingga padang rumput dan pepohonan (terutama bunga sakura yang kesohor itu) meranggas. Dari trotoar terlihat bangunan-bangunan kecil, ternyata itu adalah jalan menuju kereta api bawah tanah (subway). Tidak ada yang istimewa di sini sebab yang kami kunjungi adalah tempat perbelanjaan. Sejujurnya saya tidak enjoy dengan segala hal yang terkait dengan “belanja”, apalagi di komplek perbelanjaan termahal di Jepang, yang saya inginkan justru tak terbeli karena tidak memiliki cukup uang sampai kunjungan terakhir di Jepang.

Oh ya, ada satu hal yang terkesan di pusat perbelanjaan itu. Jalan-jalan double way di Ginza lebar sekali, bersih, tidak begitu ramai, tidak macet, dan tidak ada polisi lalu lintas. Semua orang menerapkan kedisiplinan tingkat tinggi ketika menyeberang jalan. Menunggu lampu merah menyala untuk menghentikan laju kendaraan, barulah menyeberang jalan, tidak ada saling serobot. Orang-orang tidak merokok di sembarang tempat kecuali di tempat yang telah ditentukan (biasanya ada tanda boleh merokok – smoking area). Jalanan bebas banjir, tidak nampak sepeda motor atau truk melintas di situ, mobilnya rata-rata bagus dan bersih mengkilat. Mobil tua dilarang dikendarai di jalan raya.

Jam makan siang tiba juga. Pada pukul 11.00-12.00 kami menikmati makan siang di Rumah Makan Hanamasa. Di sini, sekali lagi saya menemukan bentuk lain dari kedisiplinan, orang harus taat pada jadwal makan, tempat duduk, dan aturan makan harus diikuti. Misalnya, makanan yang sudah diambil harus dihabiskan. Jikalau tidak habis akan dikenakan biaya tambahan, didenda. Satu lagi, jika sudah memesan meja harus datang tepat waktu, jika lewat waktu yang telah dijanjikan tidak datang maka tempat itu diberikan kepada pengunjung berikutnya. Hanamasa termasuk rumah makan besar, bersih, higyenis.

Semua jenis makanan ditata rapi dalam lemari kaca transparan. Selain itu masing-masing meja dilengkapi tungku listrik untuk membakar ikan. Pengunjung boleh memilih bermacam ikan atau daging yang sudah diiris tipis lalu boleh makan-minum sekenyangnya, yang penting harus dihabiskan, tidak boleh ada sisa makanan di piring.

”Sayang tidak ada sambelnya ya pak” Saya nyeletuk pada teman semeja, Pak Jamudin.

“Eh.. iya Pak, serasa ada yang kurang ya” Jawabnya dengan mulut monyong mengunyah makanan.

Kami makan memakai sumpit, tidak ada sendok dan garpu. Menu siang itu : sup, kecap, lalapan, saus, merica, pasta, daging bakar dilengkapi dengan nasi yang pulen, uenak banget (enak sekali). Grace sempat memberikan penjelasan,“Beras Jepang harganya 700 yen per kg, paling enak di dunia, putih mengkilat dan wangi”

“Ah apa iya ? di Indonesia beras Bali, beras Jawa Barat juga enak” Sergah saya tak setuju.

Menu lain aku tidak kenal sehingga tidak berani mencicipi. Sekonyong-konyong saya teringat Riris, anak saya.

“Pak, beli shusi, bawa pulang ya !” Katanya menjelang keberangkatan saya ke Jepang.

”Shusi itu apa sih, Ris?”

”Shusi itu adalah makanan tradisonal Jepang, serba daging, dimakan dengan saus dan sayur segar”

Sebetulnya saat itu saya ingin mencoba shusi, sayang sekali persediaan telah habis atau sengaja tidak dihidangkan untuk kami yang dari Indonesia. Berapa harga masakan di situ kami tidaklah tahu. Kami hanya tinggal makan saja karena semua urusan selama di Jepang ditangani oleh ITC Tour.

Kenyang sudah. Kami melanjutkan perjalanan menuju Grand New Otori Hotel di Hamamatsu, Shizuoka. Perjalanan ini makan waktu 5 jam dari Ginza. Dan ternyata jalan ini telah dilewati pula saat kemarin keluar dari Bandara Narita. Grace masih tetap semangat bercerita sepanjang perjalanan tentang Jepang. Namun karena kondisi lelah, saya dan sebagian teman lain tertidur di dalam bus yang terus melaju.

Rombongan sampai di hotel pada pukul 17.30 waktu Jepang. Setelah urusan check rampung kami langsung beranjak tidur. Dua jam berselang, saya dan Pak Usman, teman sekamar dari SMK Takengon, bangun untuk makan malam. Selepas makan malam tidur lagi dikasur busa yang empuk.

Tiada lagi yang lebih nikmat malam itu kecuali perut kenyang dan bisa segera tidur pulas. Ketika keesokan paginya mentari menyibak halimun, kehidupan bergerak menapaki perjalan berikutnya.

oooOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar