Sabtu, 07 Agustus 2010

BAB IX FUJIYAMA OLEH SUNYOTO

9. Resep Sukses Bangsa Jepang

Resep ini saya kutip dari sebuah blog di internet dan kelihatannya relevan sebagai cermin betapa usaha bangsa Jepang untuk maju itu memang bukan perjuangan yang ringan. Kesuksesan mereka adalah hasil dari usaha keras yang dilakukan oleh segenap elemen bangsa Jepang.

Sebetulnya di Indonesia resep ini sudah sering diperdengarkan, namun sekali lagi masalah utamanya terletak pada tataran implementasi. Ya, implementasi menuntut sebuah kesungguhan yang holistik, dan kesungguhan inilah yang belum terasa di Indonesia.

Hal ini dibuktikan ketika bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya. Segenap lapisan demikian serius mmemperjuangkan kemerdekaan sampai akhirnya berhasil. Namun disaat harus mengisi kemerdekaan justru semangat kesungguhan itu merosot drastis, sehingga hasilnya belum nampak optimal.

Berikut adalah 10 resep sukses bangsa Jepang :

· KERJA KERAS.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah bangsa pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2.450 jam/tahun, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam /tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Perancis (1.680 Jam/tahun).

Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam waktu 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama.

Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikata "memalukan" di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut "tidak dibutuhkan" oleh perusahaan.

2. MALU

Malu adalah budaya leluhur dan diwariskan secara turun temurun dalam diri bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan sebilah pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dalam pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena ”Mengundurkan diri bagi para pejabat (menteri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugas.

Efek negatifnya merambha kepada anak-anak SD, SMP yang terkadang bunuh diri, karena memperoleh nilai jelek atau tidak naik kelas. Karena malu pula orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur ditengah jalan. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

3. HIDUP HEMAT

Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Banyak orang Jepang yang memilih berbelanja di supermarket pada sekitar pukul 19.30. Selidik punya selidik, ternyata supermarket di Jepang akan memotong harga hingga separuhnya pada sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20.00.

4. LOYALITAS

Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan.

Mereka biasanya bertahan pada satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian dilatih dan dididik sendiri sesuai dengan bidang garap (core business) perusahaan.

5. INOVASI

Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang lain dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang lebih diminati oleh konsumen. Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu.

Cassete tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan mem-bundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksinya mencapai 150 juta unit produk.

Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan oleh orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah.

6. PANTANG MENYERAH

Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun di bawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam bidang teknologi. Ketika masa Restorasi Meiji (Meiji Ishin), bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner.

Miskin sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia.

Konon, jika Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita. Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan kalah perang, dan ditambah dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo. Namun ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (Shinkansen).

Cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak. Bahkan mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era kekinian.

Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk cassete tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan sony walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan).

7. BUDAYA BACA

Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat manga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi.

Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dsb). Konon legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan.

8. KERJASAMA KELOMPOK

Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang.

Ada satu anekdot yang mengatakan "satu orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya saja 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok" . Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan "ringi" adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam "ringi".

9. MANDIRI

Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Dia harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Para mahasiswa di Saitama University mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka "meminjam" uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.

10. JAGA TRADISI

Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini. Budaya minta maaf masih menjadi refleks orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki, maka jangan kaget kalau yang kita tabrak justru minta maaf terlebih dulu.

Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata "tidak" apabila mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang Jepang karena "hai" belum tentu "ya" bagi orang Jepang.

Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang. Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang merupakan salah satu yang terbaik di dunia.

Latar belakang sejarah dengan pendekatan sosial budaya mungkin bisa dijadikan faktor penting terhadap kebiasaan bangsa Jepang yang bekerja begitu keras (dengan jam kerja yang panjang). Namun tidak ada bukti sejarah yang menunjukkan bahwa orang-orang Jepang di masa sebelum era Restorasi Meiji pada tahun 1968 bekerja lebih keras dibandingkan orang-orang pada era pre-industri.

Dengan mengabaikan faktor budaya tersebut, setidaknya bisa diidentifikasi terdapat empat faktor yang mempengaruhi waktu kerja yang panjang di Jepang, yaitu lemahnya kekuatan dari serikat pekerja dan ketidakmampuannya untuk menyuarakan protes terhadap pengurangan jam kerja; strategi persaingan internal dalam sistem manajemen yang diterapkan oleh perusahaan di Jepang; tidak adanya kebijakan khusus yang dibuat pemerintah Jepang berkaitan dengan lamanya waktu bekerja; serta tekanan dunia internasional.

Tidak ada salahnya bila kita sebagai warga negara yang belum maju menjadikan pengalaman negara lain yang sudah lebih maju untuk diterapkan di negara kita sendiri. Tentu saja harus ada filter apakah pengalaman itu positif dan sesuai untuk kita atau tidak. Yang sesuai kita gunakan, sementara yang tidak sesuai kita buang jauh-jauh.

oooOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar