10. Mimpi Semalam.
Ketika sedang memperhatikan siswa sekolah Indonesia yang ada di Tokyo, saya sempat membayangkan seandainya saya sekeluarga pindah dan bertempat tinggal di Jepang.
Saya membayangkan Lina dan Riris, anak saya, bersekolah di sini dan bisa berbahasa Jepang. Mereka pasti mempunyai banyak teman orang-orang Jepang Selanjutnya mereka akan bekerja di Jepang. Ah, betapa menyenangkan.
Senang ? Ya tentu saya senang, sebab naluri saya memberontak. Tak rela melihat perbedaan yang begitu memprihatinkan sehingga saya akan merasa bangga bila menjadi salah satu orang yang berjuang di sana.
Saya mengajar di sekolah Indonesia tersebut, yang dalam ukuran saya sama-sama memprihatinkan, sama persis dengan sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya. Saya begitu trenyuh menyaksikan perbedaan fisik sekolah dan performance murid yang bagaikan bumi dan langit dibanding sekolah Jepang yang letaknya tak jauh dari sekolah Indonesia itu.
Memang saya hanya melihat dari luar, itu pun dengan cara mengambil gambar dari seberang jalan. Tetapi dapat saya saksikan bahwa sekolah ini, mulai dari SD sampai setingkat SMA, begitu megah bentuk bangunan sekolahnya, begitu tertib murid-murid mereka. Tidak ada siswa yang berkeliaran di luar gerbang, begitu bel tanda masuk berbunyi para siswa langsung hilang seperti ditelan bumi, kelihatan sepi dari luar. O ya, ada anak SMA yang sedang olah raga, bermain basket dan senam.
Kita tinggalkan sekolah Jepang dengan segala kemegahannya itu. Saya membayangkan hidup di perumahan milik sekolah atau kontrak rumah di sekitar lingkungan sekolah (ketika hendak pamit dari kunjungan ke sekolah Indonesia di Tokyo ini, kami terpaksa berjalan kaki dan sempat melintasi komplek perumahan menuju jalan raya karena bus nya menunggu di sana).
Bila diperhatikan model penataan dan bangunan-bangunan rumah disini lebih mirip komplek perumahan di Indonesia. Suasana pagi di komplek perumahan itu, kebanyakan pintunya tertutup rapat sehingga saya tidak bisa ngintip lebih jauh. Ada beberapa kendaraan sepeda motor atau mobil sedan dan mobil box berbentuk kecil. Kelihatannya sedang mengirim barang pesanan belanjaan, sayang saya pun tidak bisa melihat siapa penghuni rumah yang keluar.
Saya membayangkan tinggal di kompleks itu bersama anak dan istri tercinta. Mereka pasti canggung pada awal bertempat tinggal disini, karena tidak bisa ngrumpi ketika belanja sayur dengan tetangga di pagi hari. Dan lagi semua orang harus bekerja tidak ada yang diam menganggur di rumah saja.
***
”Eh teman-teman, kaki saya sudah pegal nih, dari tadi keliru terus jalannya” Saya mengeluh kepada teman-teman.
”Bapak, kita semua juga dari Indonesia, jadi harap maklum kalau tidak tahu jalan” jawab ibu Ita yang dari Jakarta.
”Iya deh, iya, cuma bercanda kok, sebagai pengusir capek saja” Saya menyahut setengah bercanda.
Kami harus balik dua kali jalan plus masuk di komplek perumahan itu sebelum akhirnya dapat menemukan jalan yang benar menuju restoran dengan menu masakan Indonesia tepat di depan sekolah Jepang. Restoran ini kecil, letaknya di lantai dua sebuah rumah sederhana, lebih pas bila disebut warung. Di kaca jendela depan terpampang tulisan ”RUMAH MAKAN INDONESIA. MENYEDIAKAN MASAKAN KHAS INDONESIA : MIE AYAM, NASI PECEL, SOTO AYAM, SOTO DAGING, NASI RAMES”.
Kami, berdua puluh, segera masuk ke restoran. Langsung sesak rasanya tempat itu, kami harus duduk berdesakan. Di situ sudah ada pengunjung orang Jepang asli, juga sedang memesan makanan.
Saya memesan nasi pecel, Pak Masrukin memesan nasi rames plus sambel terasi, beberapa teman lain memesan soto dan minum teh manis atau es sirup.
Sambil menunggu, saya melihat dan membaca hiasan di sini kebanyakan khas Yogjakarta. Ada batik, wayang, openg dan kotak bungkus rokok gudang garam, juga djarum dipajang disitu.
Ketika kami memesan makanan, yang mencatat adalah lelaki muda asli Jepang. Perawakannya kurus, kulit kuning langsat, mata sipit, berambut hitam keriting. Tingginya kurang lebih 170 cm, hari itu dia mengenakan kaos lengan panjang loreng hitam kombinasi putih seperti zebra. Pria itu berbahasa Jepang dengan guide kami, sementara kepada kami hanya tersenyum atau bilang ”terima kasih, sabar ya” sambil mencatat pesanan. Kesimpulan sementara kami adalah bahwa orang ini mungkin pernah pergi ke Indonesia tepatnya ke Yogjakarta.
Lumayan lama kami menunggu hidangan tersaji, mungkin tidak terbiasa menerima tamu sebanyak ini. Sementara tamu lain yang datang hampir bersamaan dengan kami tadi juga masih sabar menunggu. Anak kecil yang ada di gendongannya sedikit rewel, tidak tenang. Mungkin karena udara disitu dirasa sedikit panas sehingga tidak nyaman bagi mereka.
Ibu muda itu sedikit gelap kulitnya walaupun matanya sipit. Mungkin orang ini blesteran Indonesia-Jepang, atau mungkin ada juga orang Jepang yang berkulit sedikit gelap. Dan, wanita Jepang yang lebih tua di sebelahnya itu pastilah mamanya. Sayang mereka tidak mengerti bahasa kami.
Hidangan telah siap tersaji di atas meja. Kami membayangkan hari itu pasti akan makan dengan lahap setelah beberapa hari tidak merasakan menu masakan Indonesia. Sementara saya mengembara dalam lamunan tentang selera makan, seorang wanita muda asli Jepang menghidangkan masakan yang kami pesan.
Mie goreng, sayur sop kobis, dan ada juga yang saya tidak paham sehingga tidak bisa menebak, itu masakan apa. Wanita ini berperawakan sedang, sedikit kurus, berkulit kuning langsat seperti lelaki tadi berambut lurus hitam sedikit kemerahan. Hidungnya kecil mancung dengan tinggi badan sekitar 160 cm. Dia mengenakan baju kaos warna putih lengkap dengan celemek, mungkin ini istri si lelaki Jepang tadi atau adiknya sebab face nya mirip.
Sementara itu ada seorang pembantunya keluar membawa hidangan untuk kami. Dia seorang pemuda warga negara Indonesia. Kami sempat berdialog,
”Mas, sampeyan dari mana asalnya ?”
”Indonesia Pak, Yogjakarta” Jawabnya
”Sudah lama kerja disini ?” Saya bertanya lebih lanjut
”Sekitar setahun Pak”
”Ada berapa orang yang bekerja disini ?”
”Dua orang Pak, saya dengan seorang teman saya”
”Istri sampeyan ?”
”Bukan Pak, laki-laki, juru masak di sini”
”Ooo...begitu”
”Maaf pak saya harus melanjutkan kerja” Pamitnya santun.
”Oh ya silahkan, maaf ya banyak tanya” Seulas senyum saya sodorkan untuknya
”Nggak papa Pak, terima kasih sudah mau berkunjung” Ucapnya menutup pembicaraan.
Pelayan laki-laki itu segera menyelesaikan pekerjaanya dan kemudian lenyap ditelan pintu masuk ruang dapur. Ah kok lupa nggak nanya siapa namanya ya tadi.
Tibalah giliran saya, masakan yang saya pesan dihidangkan oleh wanita Jepang yang berpakaian sederhana tadi. Dia menaruh piring di meja sambil membungkuk
”Silahkan” Katanya dalam logat Jepang yang kental
”Terima kasih” Jawab saya
Tidak seperti yang saya bayangkan, nasi pecel dengan kecambah dan sayur daun bayam ditambah kacang panjang, lalu di siram sambal kacang yang sedikit pedas. Lengkap dengan tempe goreng dan peyek udang, amboy nikmatnya. Semua itu tidak ada, hanya lamunanku saja membayangkan pecel Indonesia. Nasi pecel yang ini jauh dari lamunan. Sepiring nasi, irisan kobis, sayur sawi atau apa namanya, kemudian disiram sambel pecel dan kerupuk udang. Tak apalah tombo kangen rumah. Kusendok nasi pecel itu, rasanya memang mirip pecel, tetapi bumbunya terasa beda, sehingga cita rasanya pun berbeda pula.
Kembali angan saya melayang, melamun seandainya saya berdomisili di Jepang peluang kerja yang cocok untuk istri adalah membuka sebuah restorant khas masakan Indonesia. Surprise tentunya, RESTORAN ”MADAM EFFI ALFIAH”. Jika makanan khas China bisa diterima di mana saja, kenapa masakan Indonesia tidak, pasti bisa lah.
Istri saya pandai memasak, dijamin rasanya enak. Terbukti setiap kali sekolah kami mengadakan rapat dan pesan makanan dari rumah yang dimasak sendiri oleh istri, mereka semua puas. Selera makan mereka menjadi bertambah.
Membayangkan istri mendirikan restoran di Jepang pasti ramai dikunjungi orang-orang Indonesia atau orang-orang tua Jepang atau keturunannya yang pernah hidup di Indonesia. Sesekali ditampilkan kesenian khas Indonesia yang dimainkan oleh anak-anak sekolah Indonesia di sini, pasti asyik sekali. Sementara sepulang sekolah, anak-anak saya akan datang ke restoran dan membantu ibunya sampai restoran tutup.
Tiba-tiba lamunan saya buyar ketika Grace menyampaikan informasi berikut ini, ”Bapak ibu, masakan disini tidak lengkap bumbunya seperti di Indonesia, misal tidak ada cabe, tidak ada kencur, tidak ada daun jeruk purut atau daun salam sehingga rasanya tidak sama persis dengan masakan asli Indonesia. Bukan mereka tidak pandai memasak tetapi karena untuk mengimpor bumbu dari Indonesia sebagian dilarang dan memang mahal biayanya”
”Oh kalau begitu, sulit juga ya. Jadi seandainya istri membuka restoran disini harus berfikir keras bagaimana caranya agar secara legal dapat mengimpor rempah bumbu dari Indonesia. Batal dong kalau begitu usaha restorannya di Jepang” Batin saya.
”Bapak ibu, setelah ini kita melanjutkan kunjungan kita ke University of Tourism dan Nippon Technology College. Maaf busnya sudah menunggu di depan, kita segera naik, waktu kita terbatas” kata Grace.
Kami patuh, segera naik ke bus setelah berpamitan dan membereskan semua biaya makan di restoran ini. Setelah semua penumpang lengkap bus segera berangkat. Dalam perjalanan saya masih terus saja berkhayal bertempat tinggal di Jepang. Saya tetap menjadi guru sementara istri membuka restoran. Lina sudah kuliah di Technology Informatics, pasti menyenangkan.
Apakah saat ini di Indonesia kami tidak bahagia ? Jangan salah, kami cukup bahagia, tetapi sesekali hidup dan bertempat tinggal di luar negeri merupakan kebanggaan tersendiri. Saya ingin Lina mahir dibidang Teknik komputer dan Designer yang handal. Jepang sangat terkenal dalam hal animasi film kartunnya.
Produk kartun Jepang membanjiri pasaran film kartun Indonesia. Setelah keluar dari Institut Teknik Nippon, Lina sudah pandai membuat film kartun dan handal mengelola manajemen pemasarannya. Filmnya pun telah diekspor ke Indonesia dan dinikmati oleh anak-anak Indonesia. Salah satu karyanya adalah Perjuangan Sonya & Keluarga.
Kartun itu sangat digemari di Indonesia karena isinya adalah perjuangan orang perantauan yang harus berhasil dalam hidup. Sebab kalau tidak dia malu kepada saudaranya di Indonesia. Oleh karena itu mereka harus berjuang keras untuk sukses. Rating kartun ini di RCTI mengalahkan kartun Sinchan yang cerdik tetapi kurang sopan itu, atau film kartun Doraemon yang ternyata di Indonesia saudaranya ada banyak, antara lain : yang sakit-sakitan dinamai Dorasehat (tidak sehat), yang tidak disiplin dan tidak bertanggung jawab dinamai Doranggenah (Tidak baik), yang pelupa dinamai Doraeling (tidak ingat).
Syukur alhamdulilah anak saya sukses sesuai keinginan, bakat dan minatnya serta sesuai pula seperti yang saya inginkan. Kelak bila pulang ke Indonesia saya tidak lagi repot membantu mencarikan kerja, karena dia sudah bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri bahkan mungkin bisa membantu orang lain.
”Pak, kok melamun terus, kangen rumah ya ?” goda pak Usman membuyarkan lamunan saya.
”Kangen memang iya, tetapi saya mengantuk dan capek sekali nih” Saya berbohong sambil menggosok-gosok mata supaya terlihat benar-benar mengantuk.
”Sebentar lagi kita sampai di Tokyo Institut Of Tourism, barang bawaan yang berat tidak usah dibawa, boleh bawa kamera, atau handycam” begitu Grace mengumumkan di dalam bus.
Selesai bicara, Grace berbincang dalam bahasa Jepang dengan sopirnya sambil melihat kiri kanan jalan mencari-cari lokasi. Kemudian dia memastikan di halaman depan bangunan itulah bus berhenti. Kami turun, sudah ada yang menjemput, para petinggi kampus itu. Ceritanya kemudian, seperti yang saya ceritakan di bab –bab sebelumnya.
Kunjungan berikutnya ke Nippon Technology Collegge. Saya membayangkan disinilah anak saya menuntut ilmu di bidang komputer. Sementara saat ini Riris, anak kedua saya, masih sekolah di SMA Indonesia di Jepang. Nantinya dia ingin melanjutkan kuliah di Tokyo Institute Of Tourism, sesuai yang dicita-citakan sejak masih SMP dulu. Dia ingin sekali melanglang buana ke tempat-tempat wisata dunia sambil memandu turis.
Belajar di Jepang harus serius, disiplin, dan juga pandai. Sebetulnya banyak yang berminat belajar ke luar negeri tetapi salah satu kendalanya adalah kemampuan berbahasa asing.
”Pak, pak, bangun pak sudah waktu subuh” pak Usman teman sekamar dari Takengon membangunkan saya.
”Pak Nyoto tidurnya pulas sekali kelihatannya, mimpi indah rupanya” Lanjutnya.
”Ah tidak, saya justru sulit tidur, masih mengantuk nih” Saya berusaha mengelak, padahal memang benar tentang mimpi itu.
”Hayo bangun sholat dulu baru tidur lagi” Dia mengingatkan dengan halus.
Dengan malas saya beranjak pergi ke kamar mandi, mengambil air wudhu dan dilanjutkan dengan sholat Subuh. Di dalam kamar mandi saya berfikir bahwa mimpi tadi malam akibat dari kegiatan siang hari yang terbawa dalam alam tidur. Subhanallah indah sekali mimpi saya, punya rumah dan restoran di Jepang !
oooOooo